
JAKARTA, MANADONEWS – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak tegas pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Pemberian gelar pahlawan kepada Presiden kedua Republik Indonesia itu adalah tindakan yang tidak tepat dan bertentangan dengan konteks keadilan.
Hal tersebut dinyatakan pihak KontraS dalam siaran pers melalui situs resminya KontraS.org, yang diterbitkan pada Rabu, 25 Mei 2016.
Wacana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto sesungguhnya telah muncul beberapa kali, yakni pada tahun 2010 ketika namanya lolos sebagai calon penerima gelar pahlawan dari wilayah Jawa Tengah oleh Kementerian Sosial.
Kemudian pada 2014, ketika capres Prabowo Subianto kala itu berjanji memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto seandainya ia terpilih menjadi Presiden. Munaslub Golkar baru-baru ini kembali mengusulkan agar Presiden Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional.
Pada hakikatnya gelar pahlawan merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan serta simbol pengakuan terhadap warga negara yang berjasa dan mendarmabaktikan hidupnya serta memberikan karya terbaiknya terhadap bangsa dan negara. Seseorang yang layak diberikan gelar pahlawan yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.
Menurut pandangan pihak KontraS dalam rilis tersebut, Soeharto adalah sosok yang kontroversial. Mengutip kalimat yang pernah digunakan oleh mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, “Soeharto itu jasanya besar tetapi dosanya juga besar.”
“Bagi kami dan para korban pelanggaran HAM, menolak dengan tegas pengusulan tersebut, alasannya sangat kuat di mana kehidupan masyarakat sipil pada waktu itu dibatasi, KKN merebak yang dampak dan implikasinya masih terasa hingga kini,” kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani di Jakarta, Selasa, 24 Mei 2016, dikutip AntaraJateng.com.
“Wacana itu menyabotase dan mencederai cita-cita reformasi di mana agenda utamanya adalah mengadili Soeharto dan kroninya karena Soeharto telah menciptakan sistem pemerintahan otoritarian dan sarat KKN,” lanjut Yati.
Penolakan juga diungkapkan Maria Catarina Sumarsih yang merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi I, yang menurutnya jika Soeharto diberi gelar pahlawan maka itu adalah kesalahan besar yang dilakukan bangsa ini.
“Jika diberi gelar, sama saja Indonesia melestarikan impunitas (pembebasan dari hukuman) dan melegitimasi praktik KKN di negeri ini,” kata Sumarsih. “Jika Jokowi menerima gelar Soeharto sebagai pahlawan sama aja nawacita menjadi duka cita bagi rakyat Indonesia.”
[KontraS | Antara]