Berita TerbaruBerita UtamaTNI

Neuro AIDS

×

Neuro AIDS

Sebarkan artikel ini
Arthur HP Mawuntu

Arthur HP Mawuntu

Arthur HP Mawuntu

MANTOS MANTOS

Koordinator Program Studi, Bagian/ KSM Neurologi, Fakultas Kedokteran Unsrat / RSUP Malalayang

Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) sudah sering terdengar di telinga kita. Penyakit yang disebabkan penurunan daya tahan tubuh akibat infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) ini memang memperlihatkan tren peningkatan. Kesudahan pasien yang tidak tertangani dengan baik umumnya fatal setelah 5-10 tahun. Kebanyakan meninggal akibat infeksi oportunistik saat daya tahan tubuh mereka menjadi sangat rendah.

Saat ini, HIV masih belum dapat disembuhkan dalam arti membunuh seluruh virus dalam tubuh. Namun demikian, obat-obat ARV (antiretrovirus) kombinasi mampu membuat penyakit ini bisa dikendalikan meski tidak sembuh. Dengan pemakaian teratur, jumlah virus dalam darah dapat ditekan hingga tidak terdeteksi lagi oleh alat medis. Jumlah sel bernama limfosit T CD4 juga akan meningkat sehingga mengurangi risiko terkena infeksi oportunistik. Harapan hidup orang dengan HIV juga meningkat hingga mendekati usia harapan hidup populasi umum. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kesehatan orang dengan HIV akan kembali memburuk jika dia berhenti minum obat ARV atau minum tidak teratur. Ada juga efek-efek samping obat ARV yang cukup serius.

Sistem kekebalan tubuh umumnya menjadi fokus perhatian kita jika membicarakan AIDS. Namun demikian, HIV ternyata tidak hanya merusak sistem kekebalan tubuh saja tetapi juga sistem saraf. Sebagai contoh, adanya infeksi oportunistik (infeksi yang timbul saat sistem kekebalan tubuh menurun) pada sistem saraf pusat menandakan bahwa keadaan pasien sudah sangat berat. Selain itu, pada tahap yang lebi ringan, sebenarnya mulai terjadi penurunan daya pikir serta kerusakan saraf tepi pada pasien AIDS. Sayangnya, masalah AIDS pada sistem saraf tidak begitu kita sadari. Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca untuk membahas sedikit tentang masalah AIDS pada sistem saraf pada kesempatan ini.

Penyulit AIDS pada sistem saraf secara umum mencakup:
1. Infeksi oportunistik dan kanker terkait HIV di sistem saraf pusat.

  1. Sindrom pulih imun.
  2. Neuropati terkait HIV
  3. Gangguan neurokognitif terkait HIV.
  4. Efek samping obat HIV di sistem saraf.

TES HIV

Mengetahui status HIV sangat penting. Bukan saja untuk mereka dengan perilaku hidup berisiko tetapi juga yang tidak. Sebagai contoh, angka infeksi HIV pada ibu rumah tangga cukup tinggi meski gaya hidup mereka tidak berisiko. Dulu, para dokter mengira bahwa infeksi HIV hanya penyakit kaum homoseksual dan yang sering menerima transfusi darah. Pendapat itu kemudian terbukti salah. Ya, HIV dapat menginfeksi siapa saja.

Tes HIV sekarang ini hasilnya cepat, dan memiliki nilai kepercayaan yang tinggi. Untuk tes yang positif pun tetap harus dilakukan konfirmasi ulang. Biaya tes terjangkau bahkan sebagian gratis. Tes HIV memang perlu memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma di masyarakat tertentu. Oleh karena itu prosedur pemeriksaan sangat memperhatikan faktor kerahasiaan. Namun demikian, hal terpenting yang perlu disadari oleh masyarakat adalah faedah tes ini untuk pasien. Semakin dini infeksi HIV diketahui maka semakin mudah juga penatalaksanaannya. Tes HIV adalah pintu masuk untuk akses layanan pencegahan, pengobatan, perawatan, dan dukungan.

Tes HIV di negara kita diatur dalam Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan)  no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Dalam Permenkes tersebut disebutkan bahwa pendekatan tes HIV yang dikerjakan di Indonesia adalah dengan metode PITK (Tes HIV Atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling) (ada juga yang menyebutnya sebagai Konseling dan Tes HIV Atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan = KTIP) dan KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela). PITK adalah tes HIV dan konseling yang dilakukan kepada seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, merekomendasikan bahwa untuk negara dengan epidemi HIV/AIDS yang tidak begitu luas seperti Indonesia, dilakukan PITK pada orang yang datang ke pusat layanan kesehatan dengan keluhan yang diduga disebabkan oleh AIDS. Hal ini berbeda dengan rekomendasi untuk negara dengan epidemi HIV/AIDS luas karena setiap orang yang datang ke pusat layanan kesehatannya selalu dianjurkan untuk menjalankan tes HIV.

KTS adalah proses konseling sukarela dan tes HIV yang dilakukan atas inisiatif individu yang bersangkutan. KTS juga dikerjakan di Indonesia namun frekuensinya belum setinggi di negara-negara maju.

Tes HIV yang dilakukan lewat KTS atau TIPK harus atas persetujuan pasien. Namun demikian, pada keadaan gawat darurat medis untuk tujuan pengobatan pada pasien yang telah menunjukkan gejala yang mengarah kepada AIDS maka ketentuan ini dapat dikecualikan. Hal ini diatur dalam Permenkes no. 21 tahun 2013 pasal 22.

Infeksi oportunistik dan kanker TERKAIT AIDS di sistem saraf pusat

Infeksi oportunistik terkait AIDS di sistem saraf pusat cukup banyak, antara lain ensefalitis toksoplasma, tuberkulosis otak, meningitis kriptokokus, ensefalitis sitomegalovirus, ensefalitis virus herpes, leukoensefalopati multifokal progresif, dan neurosifilis. Dari serangkaian nama-nama aneh tersebut, tiga jenis yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah ensefalitis toksoplasma, tuberkulosis otak, dan meningitis kriptokokus.

Menentukan diagnosis pasti untuk infeksi oportunistik otak sulit. Oleh karena itu Dokter Spesialis Neurologi di Indonesia menggunakan strategi khusus untuk mendiagnosis, yaitu pendekatan menggunakan algoritma atau bagan alur dan menggunakan sistem skor. Pada pendekatan algoritmik, tujuan utama kita adalah memperkirakan apakah infeksi oportunistik otak yang ada adalah ensefalitis toksoplasma atau bukan. Pada sistem skor, kita melihat petunjuk-petunjuk tidak langsung yang kita temukan lalu diberikan skor. Hasil skor tersebut akan mengarahkan kita pada diagnosis suatu penyakit atau bukan. Sistem skor biasanya kita terapkan untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosis.

Pada beberapa kasus, pendekatan algoritmik dan sistem skor tidak dapat diterapkan. Dokter Spesialis Neurologi harus melakukan suatu tindakan invasif untuk memeriksa cairan otak. Tindakan tersebut kita kenal dengan nama pungsi lumbal.

Pungsi lumbal dan analisis cairan otak sangat penting untuk mendiagnosis berbagai kasus infeksi otak seperti meningitis tuberkulosis, meningitis kriptokokus, beberapa ensefalitis virus, dan neurosifilis. Pada pasien HIV, terkadang perlu dihitung jumlah virus dalam cairan otak lalu dibandingkan dengan jumlah virus dalam darah. Prosedur pungsi lumbal tidak terlalu sulit. Pasien berbaring menghadap ke salah satu sisi atau duduk membungkuk. Selanjutnya operator akan menusukkan jarum khusus dari suatu titik di punggung bawah pasien untuk mengambil cairan otak. Walaupun terdengar sederhana, tindakan ini cukup berisiko sehingga harus dikerjakan oleh dokter yang terlatih.

Sayang, masyarakat banyak yang enggan terhadap pungsi lumbal. Hal ini dapat dipahami karena banyak informasi bahwa pasien yang dipungsi kemudian meninggal atau menjadi lumpuh. Harus dipahami bahwa pasien-pasien yang perlu dikerjakan tindakan tersebut memang sudah berada dalam keadaan sakit yang berat sehingga sebagian besar dari mereka meninggal karena penyakitnya. Jika pungsi lumbal  berhasil menemukan kemungkinan penyebabnya dan diberikan terapi yang tepat secara cepat maka kemungkinan pasien pulih malahan akan menjadi lebih besar

Baca Juga:  Satgas Pamtas Kewilayahan Yonif 715/Motuliato Berikan Pelayanan Kesehatan Secara Cuma-Cuma Kepada Warga Perbatasan

Ensefalitis Toksoplasma

Ensefalitis (radang otak) toksoplasma disebabkan oleh suatu parasit bernama Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii ini merupakan salah satu parasit yang paling banyak menginfeksi manusia yang tinggal di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terinfeksi toksoplasma adalah mengkonsumsi daging mentah atau tidak matang benar yang mengandung T. gondii, meminum air yang tercemar “telur” dari kotoran binatang terinfeksi, menerima transfusi darah atau transplantasi organ, dari ibu yang terinfeksi toksoplasma ke  janinnya, meminum susu yang tidak disterilisasi, kontak dengan tanah yang mengandung “telur” toksoplasma, dan memakan sayuran atau buah yang tidak dicuci bersih.

gambar-satuGambar 1.             CT scan otak pasien dengan ensefalitis toksoplasma.

Pada pasien AIDS dengan gambaran massa di otak seperti ini umumnya dokter akan mengobatinya sebagai ensefalitis toksoplasma lebih dulu (pendekatan algoritmik).

Sumber: http://img.medscape.com

Pada pasien dewasa dengan daya tahan tubuh yang normal, infeksi parasit ini ini hanya menyebabkan gejala yang ringan dan berlangsung singkat. Berbeda halnya pada pasien dengan daya tahan tubuh menurun seperti pasien HIV/AIDS. Pada kelompok ini, T. Gondii mampu menyebabkan penyakit yang fatal yaitu ensefalitis toksoplasma. Gejalanya mencakup penurunan kesadaran, nyeri kepala, perubahan perilaku, kelemahan anggota gerak, dan keluhan saraf lain.

Ensefalitis toksoplasma dapat diobati dengan pemberian antibiotik seperti clindamycin, pyrimethamine, dan cotrimoxazole. Pencegahan dengan vaksinasi pada manusia belum tersedia.

Tuberkulosis Otak

Mycobacterium tuberculosis atau kuman tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai penyakit di sistem saraf seperti radang selaput otak, radang otak, stroke karena radang pembuluh darah otak, bercak-bercak kecil hingga besar di otak, radang sumsum tulang belakang, penekanan sumsum tulang belakang akibat patahnya tulang belakang yang terinfeksi kuman tuberkulosis, dan gangguan saraf tepi. Tuberkulosis di sistem saraf dapat terjadi meskipun jumlah limfosit T CD4 pasien masih berada cukup tinggi.

Pada pasien AIDS, penyakit yang sering ditemui akibat infeksi kuman tuberkulosis adalah meningitis (radang selaput otak) tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat infeksi kuman tuberkulosis. Umumnya meningitis tuberkulosis terjadi setelah infeksi awal di paru. Kuman akan terbawa hingga selaput otak dan membentuk sarang-sarang kuman di situ. Jika sarang-sarang tersebut pecah maka akan timbul reaksi radang yang memberikan gejala penyakit meningitis tuberkulosis.

Diagnosis pasti cukup sulit. Dibutuhkan pungsi lumbal dan analisis cairan otak. Saat pungsi lumbal tidak dapat dikerjakan maka dokter dapat melakukan sistem skor untuk menilai kemungkinan diagnosisnya. Terapi yang dapat diberikan adalah obat antituberkulosis kombinasi. Pada pasien dewasa tanpa HIV, terapi dengan obat steroid seperti dexamethasone dapat menurunkan angka kematian tetapi hal tersebut tidak terbukti pada pasien dewasa dengan HIV.

Meningitis Kriptokokus

Jamur Cryptococcus neoformans adalah penyebab meningitis kriptokokus pada pasien dengan HIV/AIDS. Pasien AIDS yang terkena meningitis kriptokokus telah berada pada keadaan penurunan daya turun yang berat yang ditandai oleh turunnya sel T CD4 hingga di bawah 100 sel/mm3. Jamur kriptokokus menginfeksi manusia yang menghirup udara yang mengandung spora jamur. Kotoran burung atau kerak pohon merupakan tempat berdiam jamur ini.

Pasien meningitis kriptokokus biasanya datang dengan keluhan nyeri kepala hebat dan atau penurunan kesadaran. Demam pada pasien biasanya tidak terlalu tinggi. Nyeri kepala hebat pada pasien meningitis kriptokokus biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam rongga kepala karena aliran keluar cairan otak tersumbat oleh jamur sehingga cairan otak menumpuk di kepala dan meregangkan selaput otak yang mengandung reseptor nyeri.

Tindakan pungsi lumbal dan analisis cairan otak dengan pewarnaan tinta India, tes antigen kriptokokus (jenis tes antigen yang umum digunakan sekarang adalah tes lateral flow assay for cryptococcus = LFA), atau kultur cairan otak menegakkan diagnosis penyakit ini. Pemeriksaan ini tidak dapat dikerjakan rutin di Manado tapi saat ini pemeriksaan tinta India dan stik LFA sedang tersedia.

gambar-dua-a
gambar A
gambar-dua
Gambar B

Gambar 2.             Beberapa cara mendiagnosis meningitis kriptokokus.

A: Jamur kriptokokus dari cairan otak pada pewarnaan tinta India; B: Cara pemeriksaan stik LFA kriptokokus.

Sumber: research.pasteur.fr; www.scielo.br.

Terapi yang digunakan adalah antijamur berupa Amphotericin B, flucytocine, dan fluconazole. Dua obat pertama tidak ada di Manado sehingga yang umum digunakan di sini adalah fluconazole. Terapi tunggal dengan fluconazole harus diberikan dengan dosis tinggi yang mengganggu liver. Selain itu efikasinya hanya moderat. Fluconazole memang hanya bersifat menahan perkembangan jamur dan tidak membunuhnya. Jadi pemberiannya pun harus lama. Tindakan pungsi lumbal pada pasien meningitis kriptokokus, dapat juga bersifat terapetik karena saat cairan otak dikeluarkan maka tekanan intrakranial menurun dan keluhan pasien bisa berkurang.

Ensefalitis Sitomegalovirus

Infeksi sitomegalovirus umumnya tidak bergejala tetapi dapat menimbulkan penyakit berat pada pasien AIDS.  Dalam hampir semua kasus, penyakit akibat infeksi sitomegalovirus terjadi saat tahap penyakit lanjut dengan limfosit T CD4 berada di bawah 100 sel/mm3.

Ensefalitis sitomegalovirus umumnya memberikan gejala gangguan kesadaran atau orientasi yang terjadi dalam waktu beberapa minggu. Sering juga ditemukan nyeri kepala dan demam. Penurunan kesadaran juga bisa sangat berat hingga masuk ke stadium koma. Pemeriksaan CT (Computerized Tomography) scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) otak umumnya memberikan gambaran normal atau pengurangan volume otak nonspesifik. Analisis cairan otak rutin memberikan hasil yang bervariasi. Diagnosis umumnya ditegakkan jika ditemukan fragmen asam deoksiribonukleat (Deoxyribonucleic Acid = DNA) virus dalam cairan otak melalui pemeriksaan pungsi lumbal.

Dalam pengobatan ensefalitis sitomegalovirus, perlu dilakukan perbaikan daya tahan tubuh pasien melalui perbaikan gizi, pemberian obat-obat untuk infeksi penyerta, dan pemberian obat ARV. Obat ARV harus segera diberikan begitu keadaan memungkinkan. Pada pasien yang telah menerima ARV, hitung limfosit T CD4+, jumlah virus, dan pemeriksaan kekebalan HIV terhadap obat ARV, menentukan perlu tidaknya dokter memodifikasi obat ARV yang diberikan. Selanjutnya, pasien juga diberikan obat antivirus khusus untuk sitomegalovirus. Obat antivirus utama adalah ganciclovir, foscarnet, dan cidofovir.

Sindrom pulih imun

Di era pengobatan HIV dengan obat ARV, muncul masalah baru yang tidak ditemukan sebelumnya yaitu sindrom pulih imun. Sindrom pulih imun timbul saat sistem imun yang mulai pulih kemudian berespons terhadap infeksi oportunistik yang telah ada sebelumnya dengan reaksi yang berlebihan hingga menyebabkan kondisi pasien malah memburuk. Gejalanya bervariasi dan belum bisa didefinisikan secara tepat. Secara umum, gejalanya mencakup demam serta perburukan gejala infeksi oportunistik yang ada.

Baca Juga:  Pangdam Merdeka Ajak PJU Kodam Gowes Bersama

Kebanyakan pasien mengalami sindrom pulih imun dalam empat sampai delapan minggu pertama setelah memulai obat ARV kombinasi. Kebanyakan juga memiliki jumlah virus dalam darah yang tinggi dan jumlah limfosit T CD4  yang sangat rendah. Meskipun demikian sindrom pulih imun dapat terjadi berminggu-minggu setelah ARV dimulai.

Diagnosis sindrom pulih imun cukup sulit dibuat dan dokter harus mempertimbangkan kemungkinan diagnosis alternatif yaitu pemburukan dari suatu infeksi oportunistik awal, munculnya infeksi oportunistik baru, gangguan organ karena sebab lain yang tidak berhubungan, atau toksisitas obat.

Gangguan neurokognitif terkait HIV

Gangguan neurokognitif terkait HIV disebut juga HAND (HIV Asssociated Neurocognitive Disorders). HAND merupakan gangguan daya pikir yang cenderung terus memburuk dalam waktu yang cukup lama. Namun demikian, pemburukannya tidak selambat penyakit Alzheimer. Gangguan neurokognitif terkait  HIV dapat terjadi tanpa disadari oleh pasien atau keluarganya, sampai kemudian baru dikeluhkan pada tingkat yang lebih lanjut.

Jumlah pasien HIV yang mengalami HAND diperkirakan sekitar 37% dari seluruh kasus HIV di Amerika Serikat. Sekitar 65% pasien terinfeksi HIV yang juga terinfeksi hepatitis C memiliki gangguan daya pikir. Belum ada data mengenai jumlah kasus HAND di Indonesia.

Gangguan daya pikir akan meningkat seiring dengan lamanya pasien HIV dapat bertahan hidup. Pemakaian ARV jangka panjang yang berpotensi toksik juga dapat mengakibatkan gangguan daya pikir. HAND dapat timbul meskipun kadar limfosit T CD4 masih cukup cukup tinggi, yaitu sekitar 200-350/mm3.

HAND dibagi tiga tahap. Yang paling ringan adalah ANI (HIV-1 Associated Asymptomatic Neurocogntive Impairment), lalu MND (HIV-1 Associated Mild Neurocognitive Disorder), dan yang terberat adalah HAD (HIV-1-Associated Dementia). Pasien HAND biasanya mengalami gangguan daya pikir, perilaku, dan kelambatan gerak. Pasien mengeluhkan hilangnya alur percakapan dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan tugas harian, meningkatnya keluhan lupa, kesulitan berkonsentrasi, kehilangan libido, apatis, kelambatan bergerak, dan juga kehilangan minat pada pekerjaan dan hobi. Gangguan  daya ingat jangka pendek menyebabkan sulitnya mengingat janji, lupa minum obat, dan nomor telepon.

HAND penting dideteksi karena adanya demensia berhubungan dengan peningkatan risiko kematian, menurunnya kepatuhan minum obat, dan HAND sebenarnya merupakan kondisi yang berpotensi untuk dapat diobati dengan terapi ARV. Untuk memeriksa adanya HAND, dokter dapat melakukan berbagai pemeriksaan daya pikir seperti (IHDS) International HIV/AIDS Dementia Scale. Pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat sederhana dan tidak memakan waktu yang lama sehingga dapat dikerjakan di berbagai pusat layanan kesehatan. Pemeriksaan IHDS rutin dapat mendeteksi adanya gejala awal HAND.

tangan-luriaGambar 3.             Tes tangan Luria.

Salah satu komponen dari pemeriksaan IHDS. Orang normal harus dapat mengubah posisi tangannya ke tiga posisi ini secara berurutan minimal empat kali dalam sepuluh detik. Pasien dengan perlambatan daya pikir tidak mampu melakukannya.(Sumber: http://image.slidesharecdn.com.)

Terapi HAND adalah pemberian obat ARV. Perbaikan gangguan daya pikir umumnya mulai tampak setelah pengobatan ARV 18 bulan. Pasien terinfeksi HIV dengan gangguan daya pikir ringan (ANI) jika tanpa pengobatan, secara progresif menjadi HAD dalam  rerata waktu 6 bulan.

Neuropati terkait HIV

Sejak akhir tahun 1980-an, neuropati (gangguan saraf tepi) terkait HIV telah diketahui merupakan penyulit neurologis infeksi HIV tersering. Meskipun demikian keberadaannya sering tidak disadari. Setelah memburuk barulah timbul berbagai keluhan yang sangat mengganggu, membuat pasien sulit bekerja, sulit mandiri, dan bisa mengalami depresi. Kasus neuropati pada pasien dengan HIV diperkirakan sekitar 19-42%. Neuropati ini dapat disebabkan oleh efek toksik dari HIV atau efek toksik dari obat ARV. Obat ARV yang terbukti mampu menyebabkan neuropati terkait HIV antara lain adalah didanosine, zalcitabine, dan stavudine. Obat-obat ini sekarang sudah jarang digunakan.

Gejala neuropati terkait HIV umumnya berupa gangguan pada sistem saraf sensorik dan motorik yang terjadi mulai dari ujung-ujung kaki dan bersifat simetris. Gangguan sensorik dapat berupa rasa baal, nyeri, seperti terbakar, atau ngilu.

Pada neuropati yang mengganggu sistem saraf autonom, dapat timbul gejala seperti rasa pusing saat perpindah dari posisi duduk ke berdiri, diare, kembung sukar buang air besar, sukar menahan kencing, kulit kering, bahkan gangguan fungsi seksual.

Dokter dapat melakukan tes sederhana seperti BPNS (Brief Peripheral Neuropathy Screening) untuk mendeteksi gangguan saraf tepi lebih dini. Jika diperlukan dapat dikerjakan pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf (KHS).

Terapi neuropati terkait HIV umumnya berupa obat-obat untuk meringankan gejala seperti antikejang, antidepresan, analgetik, dan krim antinyeri. Obat-obat yang umum digunakan adalah gabapentin, pregabalin, lamotrigine, koyo capsaicin, duloxetine, amitryptilin, AINS (antiinflamasi nonsteroid), paracetamol, dan opioid.

Obat ARV yang neurotoksik perlu diganti jika memang menyebabkan neuropati. Faktor-faktor lain yang mungkin turut memperberat neuropati juga perlu ditata laksana seperti kencing manis, kekurangan vitamin, dan penyalahgunaan alkohol.

Efek samping obat ARV di sistem saraf

Obat ARV telah diketahui mampu menyebabkan efek samping di sistem saraf. Dokter Spesalis Neurologi perlu mendeteksi masalah tersebut pada pasien yang meminum obat ARV. Efek sampingnya dapat mengenai sistem saraf pusat atau sistem saraf tepi. Efek samping dapat bersifat sementara atau menetap. Obat ARV efavirenz dapat menyebabkan gangguan kejiwaan seperti halusinasi. Stavudine, zalcitabine, dan didanosine dapat menyebabkan neuropati terkait HIV. Obat-obat tersebut juga dapat menyebabkan sindrom kelumpuhan saraf dan otot mendadak yang dapat berakibat fatal. Dokter yang terlatih memberikan obat ARV telah mengetahui masalah

PENUTUP

HIV dapat menyerang sistem saraf dan menyebabkan berbagai penyulit. Penyulit tersebut dapat berupa infeksi dan kanker di sistem saraf pusat, sindrom pulih imun, gangguan saraf tepi, gangguan daya pikir, dan efek samping ARV. Penyulit tersebut dapat terjadi pada berbagai tahap penyakit. Umumnya infeksi oportunistik di sistem saraf pusat terjadi pada tahap akhir penyakit. Gangguan daya pikir dan gangguan saraf tepi terjadi bertahap. Sindrom pulih imun lebih banyak terjadi pada bulan-bulan pertama mulai meminum obat ARV. Efek samping obat ARV terjadi setelah meminum obat ARV dan dapat menyerupai gejala penyakitnya sendiri.

Mengetahui status HIV sangat membantu dalam pengobatan di fase awal, mencegah penularan, dan membuat harapan hidup menjadi lebih baik. Stigma negatif memang masih kuat pada orang dengan HIV tetapi pengobatan jauh lebih penting. Selain itu, infeksi HIV tidak selalu diakibatkan gaya hidup yang buruk. Orang dengan HIV juga berhak atas kesempatan ke dua untuk berkarya dan mengambil peran penting dalam masyarakat.

Untuk orang dengan HIV, mintalah dokter Anda untuk melakukan pemeriksaan daya pikir dan gangguan saraf tepi agar jika memang ada gangguan dapat diketahui lebih dini.

 

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terbaru

MARORE,MANADONEWS.CO.ID– Selain menjalankan tugas pokoknya mengamankan pulau terluar, sebagian personel Satgas Pamputer Kodam XIII/Merdeka melaksanakan kegiatan teritorial yaitu menjadi tenaga pendidik (Gadik) di SMP Negeri 3 Tabukan Utara yang ada…