Manado, MN – Apa jadinya ketika institusi akademik yang tugas pokoknya untuk menjalankan Tri-dharma Perguruan Tinggi justru lebih sibuk dengan urusan politik? Ini adalah sebuah fenomena yang terjadi diinstitusi akademik di Sulawesi Utara pada satu dekade belakangan. Fenomena politik praktis dalam kampus sebenarnya merupakan hal yang biasa saja, itu kalau terjadi pada kalangan mahasiswa. Bagaimana jika fenomena ini terjadi pada kalangan lektor atau dosen?
Politik secara keilmuan terbagi menjadi dua, politik teoritis dan politik praktis. Politik teoritis merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang pemerintahan dan tata negara. Sedangkan politik praktis merupakan terapan atau aplikasi teori-teori politik dalam sebuah pemerintahan. Namun di Indonesia saat ini lebih mengenal istilah politik praktis dengan sebuah upaya untuk memperoleh kekuasaan dengan berbagai cara, apakah upaya itu melalui sebuah tata cara atau proses yang sah menurut peraturan atau dengan cara yang lebih beringas, yaitu kudeta.
Sedangkan tri-dharma perguruan tinggi merupakan semangat dari setiap institusi pendidikan tinggi. Tri-dharma perguruan tinggi terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Itulah yang menjadi roh perguruan tinggi di seluruh dunia, seluruh universitas ternama di dunia selalu memegang teguh tri-dharma perguruan tinggi.
Tidak terlepas dari tanggung jawab tri-dharma perguruan tinggi, politik dalam tataran teoritis dan praktis juga wajib dilaksanakan universitas. Namun yang menjadi pembedanya adalah setiap civitas akademika memiliki peran berbeda dalam politik teoritis maupun praktis. Sebagai lektor dan akademisi, mereka bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan politik juga penelitian politik sebagai bahan pembangunan politik masyarakat.
Lain halnya dengan mahasiswa yang juga sebagai civitas akademika, mahasiswa memiliki peran yang lebih besar dalam politik teoritis dan praktis. Mahasiswa memiliki tanggungjawab sebagai generasi muda untuk perkembangan politik yang lebih baik dimasa depan. Mahasiswa bebas berekspresi sebagai kontrol kekuasaan pemerintah dan sebagai partisipan pendidikan politik untuk masyarakat.
Peran mahasiswa sebagai pengamal tri-dharma perguruan tinggi sebenarnya lebih besar dibandingkan civitas akademika lainnya seperti lektor dan tenaga administrasi. Mahasiswa memiliki kewenangan untuk mempelajari, meneliti, serta mempraktekan ilmu politik teoritis sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Diperkuat juga peran mahasiswa sebagai fungsi kontrol pemerintahan membuat mahasiswa memiliki tanggungjawab besar terhadap pembangunan negara.
Namun sangat disayangkan ketika sebuah civitas akademika perguruan tinggi jika menerapkan politik praktis bukan untuk pengabdian kepada masyarakat, tapi untuk kepentingan internal universitas. Jabatan pimpinan universitas seakan menjadi seperti jabatan politik dalam sebuah pemerintahan negara yang bisa direbut dengan melakukan politik praktis.
Hal-hal yang idealis seperti memberantas korupsi dan pungutan liar juga kasus-kasus lain seakan menjadi alat untuk merebut jabatan pimpinan universitas. Tanggungjawab sebagai lektor dalam civitas akademika menjadi pincang, yaitu menjalankan tri-dharma perguruan tinggi. Bahkan yang lebih hebat lagi, jika para lektor yang terhormat mulai memperagakan teori konspirasi untuk merebut jabatan.
Konspirasi secara etimologi berasal dari dua kata latin, “Co” yang artinya “bersama” dan “sphirae” yang artinya “bernafas”. Jadi, secara harafiah, konspirasi berarti “bernafas bersama”. Namun saat ini, orang-orang mengenal kata konspirasi dengan pengertian melakukan tindakan yang tersembunyi secara berkelompok tanpa diketahui masyarakat luas. Teori konspirasi mengajarkan adanya isyarat atau petunjuk yang selalu ditinggalkan yang kemudian bisa dipelajari untuk mengetahui siapa orang-orang yang berada dibalik suatu peristiwa.
Kini civitas akademika di Sulawesi Utara mulai melakukan hal demikian, politik praktis untuk merebut jabatan pimpinan universitas dengan menjalankan konspirasi. Tentunya tidak semua masyarakat awam bisa mengetahui orang dibalik peristiwa itu, namun orang-orang tertentu bisa menemukannya.
Sekarang yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah, ada apa dibalik peristiwa pengungkapan kasus-kasus di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) seperti kasus bobolnya portal akademik Unsrat, kasus pungutan liar, dan proyek-proyek bermasalah? Mengapa perbuatan salah satu oknum digeneralisasikan menjadi kesalahan pimpinan universitas? Ada apa dibalik pergerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menuntut pembasmian korupsi dan pungutan liar dalam universitas?
Mengapa mahasiswa tidak bergerak secara mandiri untuk memperbaiki universitas dan terkesan seperti mahasiswa digerakan oleh pihak diluar civitas akademika? Padahal mahasiswa memiliki tanggungjawab moral terhadap institusinya. Pertanyaan paling mendasar dari masalah ini adalah, siapa yang menggerakan pihak LSM untuk mengungkap kasus-kasus di Unsrat? Apa yang menadi tujuan pribadinya?
Semua itu akan terungkap satu per satu dengan metode penalaran teori konspirasi yang akan dituliskan setelah tulisan ini. Perlu adanya sebuah penyadaran kepada masyarakat, terlebih kelompok intelektual dalam civitas akademika agar mampu menilai kebenaran dibalik sebuah peristiwa. Caranya adalah dengan menelaah konspirasi politik yang dilakukan dengan mempelajari pentunjuk dan data-data serta fakta temuan.
Hal ini ditujukan semata-mata bukan untuk mempersalahkan siapa yang menjadi “invisible hand” dalam konspirasi politik dalam civitas akademika Unsrat. Namun sebagai penyadaran akan pentingnya civitas akademika fokus pada semangant utamanya, yaitu melaksanakan tri-dharma perguruan tinggi. (Leon)