Prof. Dr. Hi. Ahmad M ali, SH, MH,anggota Komisi III DPR-RI Fraksi Nasdem dan Guru Besar Hukum Universitas Hassanudin
BOLMONG,MANADONEWS,-.Penetapan tersangka Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) dalam kasus dugaan pengrusakan aset PT Conch North Sulawesi Cement(CNSC) dinilai ambivalen dan cacat hukum oleh Prof. Dr. Hi. Ahmad M ali, SH, MH,selaku anggota Komisi III DPR-RI Fraksi Nasdem sekaligus Guru Besar Hukum Universitas Hassanudin.
Dirinya mengatakan,Kepolisian menetapkan Bupati Bolmong sebagai tersangka seolah-olah sebagai rakyat biasa atau provokator, tanpa didasari pertimbangan hukum dan kewenangan yang melekat pada jabatan Bupati.
Ada dua peristiwa hukum yang terkesan hanya dilihat secara sepihak oleh aparat kepolisian; Pertama, Aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT Conch North Sulawesi Cement illegal karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB),dan belum memiliki WIUP (wilayah izin usaha pertambangan); Kedua, atas nama penambangan illegal, tindakan penertiban yang dilakukan oleh aparat Satpol PP Bolaang Mongondow pada Juni 2017.
Hal itu diwujudkan dalam bentuk inspeksi terkait dengan izin-izin perusahaan di lokasi Pabrik PT Conch North Sulawesi Cement, Jalan Trans Sulawesi Lolak, Bolaang Mongondow, oleh Bupati bersama dengan aparaturnya pada beberapa waktu yang lalu.
” Dua rangkaian peristiwa hukum tersebut tidak menjadi dasar bagi Kepolisian untuk menyelidiki kasus tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.Justru Kepolisian menetapkan Bupati secara sepihak, sebagai tersangka dalam satu kacamata peristiwa hukum saja. Tindakan penertiban yang dilakukan Bupati tidak dipandang oleh Kepolisian, sebagai ekses dari peristiwa melawan hukum yang dilakukan oleh PT Conch North Sulawesi Cement “katanya.
Dirinya menambahkan,pihak Kepolisian tidak mempertimbangkan aspek kewenangan pemerintah daerah untuk melindungi sumber daya alam dan kebocoran anggaran negara oleh aktivitas illegal. Kepolisian justru menempatkan Bupati Bolaang Mongodow sebagai masyarakat sipil yang bertindak provokatif terhadap aparaturnya dan memandang penertiban dalam kacamata perusakan fasilitas umum.
Pandangan semacam ini bisa berakibat blunder dalam penetapan hukum karena Kepolisian tidak secara komperehensif melihat peristiwa hukum ini dari sisi sebab akibat. Kepolisian hanya menjalankan tugasnya dengan melihat peristiwa hukum hanya dari satu sisi. Hal ini bisa mengakibatkan timbulnya tindakan kesewenang-wenangan, dan melemahkan fungsi dan kewenangan yang diemban oleh pemerintah daerah.
” Padahal, urgensi kasus ini terletak dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, pada Pasal 158 menyebutkan “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”beber Prof Ali.
Lanjutnya,pada Pasal 158 dapat kita pahami bahwa setiap orang/badan hukum yang melakukan pertambangan mineral dan batubara tanpa disertai dengan izin usaha pertambangan akan dikenai sanksi, dengan kata lain usaha pertambangan mineral dan batubara wajib menggunakan izin usaha pertambangan agar legal dimata hukum.
Kasus dugaan pengrusakan properti milik PT Conch Nort Sulawesi Cement ini berawal saat Bupati Bolaang Mongondow memerintahkan aparat Satpol PP untuk menertibkan bangunan perusahaan yang dinilai tidak memiliki izin usaha pertambangan. Penertiban tersebut berakhir dengan laporan perusakan aset milik perusahaan itu ke pihak polisi. Perusahaan mengklaim telah mengalami kerugian materiil berupa kerusakan bangunan sebanyak 11 unit, 240 buah kaca jendela, dan 100 daun pintu pecah.
” Bahwa proses penertiban yang dilakukan oleh Bupati Bolaang Mongondow sah secara konstitusional untuk menyelamatkan kekayaan negara. Tetapi tindakan pengrusakan atas properti milik PT Conch North Sulawesi Cement, dipandang sebagai tindakan pidana oleh kepolisian Pasal 170 KUHP juncto Pasal 52, 55 dan 56 KUHP, dan dianggap sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan “ungkapnya.
Kepolisian telah memberikan alamat pidana yang salah. Kebijakan penertiban yang dilakukan oleh Bupati Bolaang Mongodow harusnya juga dilihat sebagai sebagai peristiwa hukum untuk menegakan aturan perundang-undangan bukan dipandang sebagai tindakan kejahatan atau perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu, penetapan tersangka Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagow adalah tindakan terburu-terburu dan mengandung cacat hukum. Kesimpulan yang diambil kepolisian tidak mencerminkan profesionalitas dan terkesan subjektif. Oleh karena itu beberapa hal berikut perlu dilakukan;
Upaya penertiban yang dilakukan Bupati Bolaang Mongondow sah karena PT Conch North Sulawesi tidak memiliki izin yang dipersyaratkan oleh Undang-undang.
Dirinya berharap,perlu penyelidikan independent berkaitan dengan kasus ini karena terdapat sejumlah kejanggalan yakni, adanya dugaan subjektif penetapan tersangka oleh kepolisian,serta perlu ada suatu investigasi menyeluruh pada usaha tambang milik PT Conch North Sulawesi yang diduga telah melakukan penambangan ilegal. Perlu didalami apakah terdapat tindak kejahatan lain yang mendorong terlaksananya aktivitas ilegal tersebut yang berujung pada kasus penertiban.
” Kapolri perlu melakukan penyelidikan terhadap aparaturnya di semua tingkatan yang menangani kasus ini. Sebab terdapat kejanggalan yang bisa menodai sikap profesionalitas Kepolisian dalam penegakan hukum “tutupnya.
( stvn )