JUMAT, 1 Juni 2018, saya diundang untuk menjadi salah satu narasumber di Talk Show Radio Montini. Tema yang diangkat adalah Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu. Menariknya, salah satu pembicara adalah Prof Dr. Johanis Ohoitimur MSC, Rektor Unika De La Salle Manado. Pastor Yong-sapaan akrabnya-kebetulan adalah dosen saya semasa kuliah. Kebetulan juga salah satu mata kuliah yang diajarkan pada 23 tahun lalu itu adalah Filsafat Pancasila. Sejujurnya, agak gugup juga mau berbagi mic bersama beliau. “Bukan guru dan murid, tapi dulu torang pernah satu ruangan belajar”, timpal Pastor. Saya yang semula agak kikuk, mencair juga. Akhirnya, talk show berjalan lancar dan memakan durasi selama 2 jam.
Pembicaraan tentang Pancasila akhir-akhir ini mencuat ke permukaan. Sejak Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, sontak pada tanggal itu diperingati lewat upacara bendera. Bahkan untuk memperingatinya dicanangkan bulan Pancasila. Rupa –rupa kegiatan digelar untuk memeriahkan Hari Lahir Pancasila. Hampir semua lapisan masyarakat, ramai-ramai mengucapkan selamat atas hari lahir itu.
Keputusan Presiden itu tergolong berani. Betapa tidak? Selama Orde Baru hingga Era Reformasi peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila ditiadakan. Kala itu, yang diperingati adalah hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober. Tidak hanya itu saja. Penetapan ini, berdampak besar pada penulisan sejarah lahirnya Pancasila. Sejarah yang selama ini diajarkan dan dipelajari semasa duduk bangku sekolah, secara tersirat dan tersurat menyebutkan bahwa Pancasila lahir pada tanggal 29 Mei 1945. Bahkan seolah-olah, lewat tulisan-tulisan Nugroho Notosusanto, Pancasila disampaikan pertama kali oleh M. Yamin bukan Soekarno. Bahkan sebelum Soekarno menyampaikan pidato pada 1 Juni, sebelumnya terdapat Mr. Soepomo dianggap juga berbicara soal Pancasila di hadapan sidang BPUPKI.
Kapan dan siapa yang menyampaikan pertama kali soal Pancasila ini, cukup lama menjadi kontroversi. Makanya, penetapan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila merupakan langkah tepat untuk meluruskan sejarah. Sekaligus menegaskan kembali bahwa Soekarno-lah yang pertama kali menyampaikan dan menawarkan Pancasila sebagai dasar negara.
Selain itu, pentingnya penetapan dan peringatan Hari Lahir Pancasila, tak sekadar untuk meluruskan sejarah yang sempat simpang siur. Tapi karena memang saat ini bangsa Indonesia sedang dirongrong oleh ancaman radikalisme yang berbalut agama dan etnis. Termasuk munculnya paham yang bertujuan untuk mengganti dasar negara Indonesia. Secara terang-terangan, segelintir orang memproklamirkan perjuangan mereka untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan paham kilafah yang dianut oleh HTI dan ISIS. Bahkan, perjuangan itu dibarengi dengan tindakan teror.
Bangsa Indonesia kembali diuji. Apakah berhasil melaluinya atau tidak. Sejarah menunjukkan, upaya upaya untuk mengganti dasar negara telah berlangsung sejak lama. Ada yang lewat negosiasi dan ada yang menggunakan konfrontasi. Tapi hingga kini, upaya itu tidak berhasil. Kendati bukan berarti dialetika itu berhenti. Sepanjang Indonesia berdiri, sepanjang itu pula dasar negara akan berdialetika.
Kembali ke topik Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu. Kenapa dikatakan Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu? Jawaban itu akan dapat ditemukan jika kita menengok kembali sejarah bangsa. Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, orientasi perjuangan telah diwarnai oleh perbedaan ideologis. Pada tahun 30-an, kendati tujuannya sama yakni kemerdekaan, namun pertentangan mengenai dasar negara yang akan didirikan makin tajam. Konflik itu terjadi antara kelompok nasionalis netral agama dan kaum nasionalis Islam. Walau pun terjadi pertentangan namun, perbedaan antara kedua kubu ini hanyalah menyangkut motivasi moral yang melandasi perjuangan.
Perbedaan itu makin meruncing saat perumusan dasar negara. Perumusan dasar negara ini berawal dari pertanyaan dr. R. Wediodiningrat sebagai Ketua Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai berikut, “apakah dasar negara yang akan kita bentuk? Dalam dua sidang paripurna dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni dan tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945, para anggota badan terpecah belah dalam pelbagai kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa, pertanyaan yang diajukan penting untuk diselesaikan lebih dulu. Sedangkan kelompok yang lain menganggap pertanyaan itu terlalu filosofis. Pada akhirnya keputusan yang diambil adalah membahas terlebih dahulu dasar negara yang didirikan.
Pada saat pembahasan itu, muncul dua kelompok besar. Kelompok satu mengusulkan bahwa negara Islam harus menjadi dasar dari Indonesia merdeka. Pendapat ini ditentang oleh kelompok lain yang menghendaki dasar negara yang bersifat sekuler. Perbedaan pendapat mengenai dasar negara merupakan masalah yang paling penting karena dipertaruhkan ke-bhineka tunggal ika-an bangsa Indonesia. Dasar negara ini akan sangat menentukan kualitas dan bentuk persatuan, apakah didasarkan pada agama, etnis atau kebangsaan.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno di hadapan anggota lainnya mengemukakan pendapatnya mengenai dasar negara dari Indonesia merdeka. Soekarno mengusulkan jalan keluar bahwa Indonesia merdeka bukan berdasar pada negara sekuler dan negara agama melainkan berdasar pada Pancasila. Rumusan Pancasila terdiri dari Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, – atau peri-kemanusiaan, Mufakat, – atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Ceramah Soekarno yang cukup panjang ini kemudian dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota yakni Drs. Mohammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Mr. Ahmad Subarjo, K. H. A. Wachid Hasyim, Mr. Mohammad Yamin. Tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar negara untuk Indonesia merdeka. Rumusan itu diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
Dalam Piagam Jakarta ini, pada Sila Pertama berbunyi Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. Menariknya, Mr. A.A Maramis yang nota bene beragama Kristen dan berasal dari Sulawesi Utara menyetujui dan menandatangani piagam tersebut. Kemudian, sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang. Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, seorang opsir Angkatan Laut Jepang menyampaikan aspirasi dari golongan Kristen dan Katolik meminta kepada Muhammad Hatta supaya Piagam Jakarta dicoret dari pembukaan UUD 1945. Jika tidak, Indonesia Timur akan berdiri di luar republik. Maka Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan pembahasan sendiri untuk mencari penyelesaian masalah kalimat ”… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada kalimat ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tokoh-tokoh Islam yang membahas persoalan itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, dan Teuku Moh. Hassan.
Menariknya dalam waktu yang tidak terlalu lama, dicapai kesepakatan untuk menghilangkan kalimat ”… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengenai kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, dituturkan oleh M. Hatta dalam Memoirnya.
“Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 agustus 1945, sebelum Sidangan Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatra mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”
Menariknya, pada saat itu tokoh-tokoh Islam menunjukkan sikap negarawan. Dengan rela dan rendah hati golongan Islam merubah hal-hal yang mengikat mereka. Padahal, kontribusi umat Islam yang diakui paling besar untuk memerdekakan Indonesia. Namun, para tokoh-tokoh Islam sadar bahwa Indonesia merdeka menjadi tempat hidup bersama bagi kelompok dan golongan yang berbeda secara agama, etnis dan bahasa. Sikap yang patut dihargai dan dihormati.
Apalagi, diyakini di dalam Pancasila sebagai platform bersama dasar negara, alur-alur pemikiran yang berbeda-beda termasuk Islam dan kebangsaan menemukan titik temu (konvergensi). Makanya, nilai-nilai Pancasila menjadi unsur fundamental, konsep dasar sebagai kesepakatan nilai yang perlu dihidupi dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sesudah kemerdekaan.
Komitmen para pendiri bangsa pada konsensus bersama tersebut terbukti tepat. Hingga saat ini, Indonesia masih berdiri tegak. Di saat negara-negara lain mengalami disintegrasi, Indonesia masih bersatu. Memang, sejarah Indonesia juga diwarnai dengan berbagai ancaman disintegrasi. Tapi sejauh ini, Indonesia menjadi satu bangsa yang mendiami Kepulauan Nusantara dengan Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu. Selamat Hari Lahir Pancasila. (*)