MANADO,Manadonews.co.id-.Kurang lebih seperempat abad lamanya aturan hukum di Indonesia menggunakan aturan pidana warisan kolonial Belanda. Namun kini Indonesia akan segera memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri.
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sepakat rancangan KUHP (RKHUP) disahkan dalam Sidang Paripurna pekan depan oleh DPR-RI periode 2014-2019 akhir bulan September ini.
Meski demikian jika RKUHP ini disahkan menjadi Undang Undang maka ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers yang tengah tumbuh dan berkembang di tanah air.
Pasal-pasal dalam RKUHP akan berbenturan dengan UU Pers yang menjamin dan melindungi kerja-kerja pers. Kemerdekaan Pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi dalam demokrasi.
Tanpa kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi maka demokrasi yang telah diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, akan berjalan mundur.
Keberadaan pasal pasal karet di KUHP mengarah pada praktek otoriter seperti yang terjadi di era Orde Baru yang menyamakan kritik pers dan pendapat kritis masyarakat sebagai penghinaan dan ancaman kepada penguasa.
Terdapat 10 Pasal yang mengancam kebebasan pers yakni:
1. Pasal 219 tentang penghinaan terhadal Presiden atau wakil Presiden.
2. Pasal 241 tentang penghinaan terhadap Pemerintah
- Pasal 247 tentang hasutan melawan Penguasa
4. Pasal 262 tentang penyiaran Berita Bohong. - Pasal 263 tentang Berita tidak Pasti.
6. Pasal 281 Tentang Penghinaan terhadap Pengadilan
7. Pasal 305 tentang Penghinaan terhadap Agama.
8. Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga Negara. - Pasal 440 tentang pencemaran nama baikm
- Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Presiden Joko Widodo sendiri meminta agar pengesahan RKUHP ini ditunda dan tidak harus dipaksakan untuk disahkan oleh DPR periode sekarang.
Meski demikian, jika DPR tetap bersikeras mengesahkan RKUHP ini, RKUHP akan tetap berlaku mejskipun presiden sebagai kepala negara tidak menandatanganinya.
Situasi ini menunjukkan adanya darurat kebebasan pers.
IJTI(Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) menilai RKUHP ini bisa dijadikan alat untuk membungkam pers yang kritis.
“Insan pers Sebagai penggiat demokrasi dan seluruh lapisan masayarakat harus bersatu bersama-sama MENOLAK RKUHP ini. Melalui petisi ini IJTI mengajak seluruh elemen pers dan seluruh lapisan masyarakat menolak RKUHP”ujar Yadi Hendriana selaku Ketua Umum IJTI .
(Ben)