Manado – Selain model dan bentuk, rumah adat setiap daerah di Indonesia memiliki filosofi berbeda.
Termasuk rumah adat atau rumah tradisional Minahasa dikenal dengan sebutan Wale atau Bale, berarti tempat melakukan aktivitas dalam kehidupan berkeluarga.
Berlandaskan filosofi masyarakat Minahasa, Rumah Panggung Manado atau Rumah Minahasa yang memiliki dua tangga di serambi depan. Tangga di kiri dan kanan bagian depan rumah itu berperan khusus saat terjadi pinangan secara adat.
Pihak lelaki yang hendak meminang si gadis yang tinggal di rumah itu, harus masuk ke rumah dengan menaiki tangga kiri.
Jika keluarga si lelaki keluar dari rumah dengan menuruni tangga kanan, itu artinya pinangan mereka diterima oleh tuan rumah. Sebaliknya, jika mereka turun melewati tangga kiri lagi, yang mereka pakai untuk naik ke rumah panggung itu, artinya pinangan mereka ditolak pihak tuan rumah.
Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara, Ir. Julius Jems Tuuk, mengajak masyarakat Minahasa melestarikan rumah adat atau rumah panggung bagian dari mempertahankan kearifan lokal daerah.
“Seiring kemajuan zaman keberadaan rumah adat semakin berkurang. Di desa-desa misalnya, prosentasi jumlah rumah beton permanen semakin bertambah menggerus rumah adat,” jelas Jems Tuuk kepada wartawan Manadonews.co.id, Kamis (30/1/2020).
Meski demikian, masih cukup banyak warga memilih rumah adat sebagai tempat tinggal.
“Kelebihan rumah panggung bisa dipindahkan ke lokasi lain, tidak harus permanen di satu tempat. Daya tahan bangunan juga bisa seratusan tahun tidak kalah dengan bangunan beton,” tandas Beatrix.
Umumnya rumah adat Minahasa terbuat dari kayu besi, mengingat kayu jenis ini dianggap mempunyai struktur yang kuat dan mampu bertahan hingga ratusan tahun. Bahan baku kayu besi yang dipasok dari daerah Bolaang Mongodow kemudian diolah dan disusun, mulai dari membuat pondasi, pancang-pancang, hingga menjadi bentuk rumah dengan beberapa ruangan di dalamnya.
Rumah adat Minahasa secara umum terdiri dari beberapa ruangan, antara lain ruang makan, ruang tamu, kamar tidur, serta tambahan kamar mandi dan dapur.
Menurut buku sejarah dan kebudayaan Minahasa yang ditulis oleh Jessy Wenas, dahulu bangunan rumah adat Minahasa dibuat dengan teknik ikat, yaitu menempel pada pohon yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menghindari banjir dan gangguan binatang buas.
Pada 1850, seorang peneliti dari Belanda, DR. WR Van Hoevell, mencatat adanya perubahan yang terjadi pada rumah adat yang dipakai oleh suku Minahasa.
Bermula dari rumah yang menempel pada pohon, kemudian berubah menjadi rumah panjang, dan yang bertahan hingga kini adalah rumah adat Minahasa berbentuk panggung. Rumah adat Minahasa berbentuk panggung terdiri dari dua jenis, yaitu berpilar batu (Wale Weiwangin) dan berpilar balok kayu (Wale Meito’tol). Jenis kedua inilah yang menjadi model rumah minahasa yang diperjual-belikan di Desa Woloan.
(YerryPalohoon)