
Manado – Sesuai rencana Pilkada serentak 23 September 2020 akan dilaksanakan di 270 daerah di Indonesia, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Akibat penyebaran pandemi Covid-19 (Corona), pemerintah mengundurkan pelaksanaan Pilkada menjadi 3 opsi waktu, yakni Desember 2020, Maret 2021 dan September 2021.
Terakhir, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perppu Pilkada dilaksanakan Desember 2020.
Menurut pengamat politik dan pemerintahan dari Tumbelaka Academic Centre (TAC), Taufik Manuel Tumbelaka, penyebaran wabah Covid-19 sangat berdampak pada kondisi sosial ekonomi dan sosial kemasyarakatan, sehingga September 2021 menjadi pilihan waktu terbaik melaksanakan Pilkada dari 3 opsi pilihan tersebut.
Pilkada serentak digelar tidak jauh dari 23 September 2020, maka kemungkinan kualitasnya tidak maksimal, sedangkan dana yang terserap sangat besar.
“Pilkada sangat menyedot APBD. Salah-satu unsur APBD adalah pendapatan. Wabah Covid-19 berdampak signifikan pada penurunan pendapatan, kemudian kita diperhadapkan pada biaya yang besar, karena usai penyebaran Covid-19 pemerintah diperhadapkan pada pemulihan sosial dan ekonomi masyarakat,” tandas Taufik Tumbelaka kepada wartawan Manadonews.co.id, Kamis (7/5/2020).
Bahkan, secara pribadi Taufik Tumbelaka menilai 2022 merupakan pilihan waktu paling tepat menggelar Pilkada serentak. 270 daerah yang menggelar Pilkada di 2022 tidak lagi diikutsertakan pada Pemilu serentak 2024, secara otomatis pemerintah menghemat anggaran.
“Keuntungannya kita bisa sangat fokus menghadapi Covid-19 dan dampak sosial ekonomi terutama pemulihan ekonomi sebagai skala prioritas. Alokasi dana-dana Pilkada pun bisa digeser untuk masalah Covid-19 dan dampaknya serta masyarakat tidak terganggu konsentrasi oleh riak-riak dinamika politik. Ibarat sakit, 2022 itu tubuh kita benar-benar sudah sembuh atau pulih 100 persen. Tapi semua tergantung Perppu,” jelas Tumbelaka.
Diketahui, jika jadi dilakukan penundaan hingga 2021 atau 2022 maka 270 daerah yang akan menggelar Pilkada akan diisi oleh penjabat kepala daerah.
Penjabat kepala daerah tingkat I atau gubernur akan diisi pejabat eselon 1 dari kementerian, sementara penjabat bupati dan walikota diisi oleh pejabat eselon 2 dari pemerintah provinsi.
“Syarat ketat untuk pejabat eselon 2 akan ditunjuk sebagai penjabat walikota atau bupati yakni tidak mengikuti Pilkada dan tidak pernah terindikasi berkeinginan ikut Pilkada, serta tidak memiliki resistensi dari masyarakat dan partai politik tertentu,” pungkas Tumbelaka.
(YerryPalohoon)