Manado – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI) menggelar simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan model penyederhanaan desain surat suara pemilu serentak 2024.
Pada simulasi tersebut, terdapat dua simulasi TPS.
TPS 1, ada 3 jenis surat suara, yakni surat suara calon presiden dan wakil presiden serta pemilu anggota DPR RI, surat suara berisi peserta anggota DPD RI, serta surat suara peserta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pada TPS 2, ada 2 jenis surat suara, yaitu surat suara peserta pemilu presiden serta wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Surat suara kedua terdiri atas peserta DPD.
Dr. Ferry Daud Liando, S.IP, M.SI dari Konsorsium Pendidikan Tata Kelola Pemilu, yang dihadirkan pada kegiatan simulasi di sekretariat KPU Sulut di Jalan Diponegoro, Kota Manado, Sabtu (20/11/2021), mengatakan apapun desain yang akan dipilih, cara memilih harus mempertimbangkan Tingkat Kesulitan, Durasi Waktu, Efesiensi, Asas Kerahasiaan dan Efek Hukum.
“Apapun pilihan model surat suara yang mau dipilih, KPU harus mempertimbangkan efektifitas tata kelola pemerintahan pasca pemilu,” jelas Ferry Liando.
Selama ini kerap terjadi ketidakselarasan kekuatan politik di eksekutif dan legislatif. Legislatif lebih dominan ketimbang eksekutif.
Hal itu terjadi karena pada saat pencoblosan, pilihan parpol pendukung capres/cawapres berbeda dengan pilihan parpol pendukung anggota DPR. Sehingga jika kertas suara pilpres dengan pilcaleg jadi satu maka potensi linieritas itu terjadi.
Hal yang perlu dikaji jika surat suara pilpres, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten disatukan adalah soal pemilih pindahan.
Jika pemilih pindah memilih di TPS berbeda dapil dalam satu kabupaten maka pemilih hanya bisa memilih calon DPRD Provinsi, DPR RI dan Presiden/Wakil Presiden.
Jika pemilih pindah provinsi maka pemilih hanya bisa memilih Presiden/Wakil Presiden.
Jika surat suara jadi satu maka bisa saja ada pemilih pindahan yang ikuti mencoblos semua jenis pilihan.
“Hal ini perlu diantisipasi. Jika tidak diantisipasi maka potensi PSU dapat saja terjadi,” tukas dia.
Dalam hal pencegahan penyebaran Covid-19, menurut Dosen Ilmu Politik ini, KPU telah menyediakan sarung tangan agar penggunaan paku coblos yang digunakan bergantian pemilih yang satu dengan pemilih yang lain tidak menjadi sumber penularan.
Namun perlu dipertimbangkan penggunaan sarung tangan hanya untuk di salah satu tangan saja. Karena sarung tangan plastik yang digunakan akan menyulitkan pemilih membuka lipatan surat suara yang masih menempel erat dengan sarung tangan plastik.
“Perlu juga dipikirkan soal waktu lipat suara yang menggunakan waktu panjang karena kesulitan dalam melipat sebagaimana sediakalah,” terang Liando.
Perlu juga menjaga soal kerahasiaan surat suara. Kotak suara yang berdiameter kecil berpotensi kerahasiaan surat suara yang lebar tidak terjamin.
Ada pemilih yang menjatuhkan pilihan di daftar paling bawah, maka hasil coblosan untuk pilpres dapat terlihat oleh pihak lain.
Tidak ada satu pilihan yang sempurna. Apakah tetap 5 surat suara, atau jadi satu, dua atau 3 surat suara, untuk semua jenis pemilihan.
“KPU harus memilih mana desain surat suara yang tidak berpotensi melahirkan banyak risiko,” pungkas Ferry Liando.
(Jerry Palohoon)