Berita TerbaruBerita UtamaPendidikan

EDITORIAL: Perlu Dicari Cara ‘Memaksa’ untuk Menjadikan Pancasila sebagai Dasar Moral

×

EDITORIAL: Perlu Dicari Cara ‘Memaksa’ untuk Menjadikan Pancasila sebagai Dasar Moral

Sebarkan artikel ini
Ferry Liando membawakan materi Pancasila dan Demokrasi di acara GAMKI Minahasa

Oleh: Ferry Daud Liando

Bangsa Indonesia baru saja merayakan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945.

MANTOS MANTOS

Perayaan mengandung maksud yakni, pertama, untuk menghayati sejarah perjuangan bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai dasar dalam bersikap bagi setiap anak bangsa.

Kedua, mengingatkan dan melestarikan Pancasila sebagai pemupuk rasa kemanusiaaan, dan rasa cinta tanah air sebagai komitmen memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Jika sepakat bahwa Pancasila sebagai instrumen pemersatu, maka perayaan di tahun ini merupakan momentum yang paling berharga. Betapa tidak, rasa persatuan dan kebersamaan seakan mulai terkoyak belakangan ini.

Nilai kemanuasiaan seakan mulai kehilangan makna. Sebagian mulai berani menampilkan sebuah identitas dengan memusuhi identitas lain, memutar-balikan fakta dan kebenaran untuk sebuah motif tertentu.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak bisa dikendalikan menyebabkan terjadinya persaingan dalam perebutan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, lahan tinggal, lapangan pekerjaan, sarana transportasi, layanan pendidikan dan kesehatan.

Sejumlah peristiwa kriminal terungkap motif merampas lahan tinggal dan lahan usaha, merampok hanya karena sesuap nasi dan frustrasi karena kemacetan lalulintas. Kejahatan terjadi akibat pengangguran oleh sebab sulitnya mendapatkan pekerjaan.

Banyak rakyat kecil terpaksa tidak terlayani dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan secara baik karena fasilitas sangat terbatas.

Pertambahan jumlah penduduk yang sulit terkendali sesungguhnya tidak ada relevansinya dengan kewajiban penambahan jumlah jabatan publik, namun kenyataannya kondisi ini menjadi salah satu persoalan bangsa.

Perebutan jabatan penting entah jabatan privat, publik, organisasi kemasyarakatan atau dalam jabatan-jabatan politik kerap berproses tidak manusiawi.

Baca Juga:  Irdam XIII/Merdeka Hadiri Peringatan HUT ke-79 Bhayangkara

Di sana ada persekongkolan, sogok menyogok, intimidasi, kolusi, dan nepotisme.

Ironinya dalam hal perebutan jabatan keagamaan ditengarai kerap juga melakukan cara-cara demikian.

Hal yang paling lumrah terjadi di arena perebutan jabatan-jabatan politik. Perilaku yang dilakonkan para politisi seakan menyimpang jauh dari visi politik, yang ada hanya soal adu kelicikan.

Perebutan kekuasan politik kerap dikotori dengan kebencian (hate speech), kebohongan, fitnah, adu domba, serta politik uang.

Cara mendapatkan kekuasaan sama persis yang dilakukan atlet perenang gaya katak. Kedua tangan menyikut ke arah samping kemudian dinaikkan ke atas dan berusaha meraih apa yang ada di atas untuk didorong ke bawah, sementara kepalanya dinaikkan ke atas dan kedua kakinya selalu menendang ke bawah.

Pihak yang bisa merebut kekuasaan adalah pihak yang mampu mengelola berita bohong menjadi sebuah fakta. Sementara yang kalah, adalah pihak yang belum profesional dalam mengelola kelicikan.

Jadilah kontestasi kekuasaan hanya sebagai sarana adu kelicikan. Siapa yang tampil sebagai pemenang, tetap diterima, dipuji dan disanjung.

Perlu dicari cara memaksa untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar moral bagi setiap politisi dalam berburu kekuasaan.

Ideologi Pancasila harusnya melekat dan menjiwai setiap warga negara terutama bagi yang mengendalikan kekuasaan. Semangat untuk mendapatkan dan menjalankan kekuasan politik wajib mendasarkannya pada moral agama dan Ketuhanan.

Agama selalu mengajarkan soal kebenaran serta membedakannya dari kejahatan. Dengan Tuhan, tentu niat untuk mengorbankan dan memusnahkan ciptaanNya untuk sebuah ambisi kekuasan tentu tak perlu dilakukan.

Baca Juga:  Hindari Penipuan, Erwin Kontu Ingatkan Masyarakat Aktivasi Identitas Kependudukan Digital di Kantor Disdukcapil

Politik Pancasila mengajarkan setiap manusia sederajat dalam pandangan siapapun. Tak semata hanya memberlakukannya secara adil namun juga beradab.

Bangsa yang kuat, bukanlah bangsa yang terpecah belah. Semangat para politisi meraih kekuasan tidak harus memporak-porandakan struktur sosial. Pancasila mengajarkan kita cara berdemokrasi yang baik.

Perbedaan pandangan tidak bisa luput dari demokrasi karena demokrasi selalu identik dengan kompetisi. Namun demikian Pancasila mendorong sikap perbedaan itu dengan cara musyawarah dan kekeluargaan.

Hanya dengan musyawarah, maka sebuah pihak saling memahami perbedaan masing-masing.

Menghindari musyawarah dalam setiap perbedaan kerap memicu konflik, adu domba, intervensi pihak ketiga, serta memicu permusuhan sosial.

Sifat hakiki bagi seorang politisi dalam mengendalikan kekuasaan adalah memperlakukan setiap orang secara adil. Kekuasaan itu tidak hanya untuk diri sendiri atau kelompok orang di sekitarnya.

Kekuasan itu harus dijadikan instrumen membuat kebijakan untuk memecahkan persoalan yang dialami semua orang.

Banyak negara hancur berantakan karena para penguasa tidak memberlakukan pihak yang dipimpin secara adil ketika sedang berkuasa.

Tak perlu mencari literatur sampai ke negeri Cina, cukup saja dengan memaknai dan mengimplentasikan Pancasila dalam setiap sikap, maka kita adalah pemimpin sebenarnya.

(Redaksi)

 

 

 

Yuk! baca berita menarik lainnya dari MANADO NEWS di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP

Banner Memanjang
Berita Terbaru

  Manadonews.co.id – Masyarakat perlu mewaspadai intensitas hujan tinggi yang biasa terjadi di akhir tahun.   Anggota DPRD Sulut, Rocky Wowor, mengingatkan masyarakat yang mendiami daerah aliran sungai (DAS).  …

Berita Terbaru

Manadonews.co.id – Pelayanan pemerintah bagi masyarakat wilayah perbatasan selalu jadi perhatian DPRD Sulut. Anggota DPRD Sulut, Rocky Wowor, mengatakan masyarakat perbatasan berada di garda terdepan NKRI harus mendapatkan perhatian ekstra….