Berita TerbaruBerita UtamaNasionalPolitik

Teror Politik SARA Pemilu 2024, Herwyn Malonda Ungkap Cara Bawaslu Mengantisipasi

×

Teror Politik SARA Pemilu 2024, Herwyn Malonda Ungkap Cara Bawaslu Mengantisipasi

Sebarkan artikel ini
Anggota Bawaslu RI Herwyn Malonda (Foto Istimewa)

Manado – Politik identitas mengangkat isu Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA) telah menjadi momok menakutkan dalam perjalanan demokrasi di Indonesia beberapa tahun terakhir.

Bagaimana peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengantisipasi politik identitas SARA?

MANTOS MANTOS

Anggota Bawaslu RI, Herwyn Malonda, mengungkapkan beberapa faktor yang memunculkan politik identitas SARA yakni masalah toleransi yang belum tuntas, ketimpangan sosial ekonomi dan rekayasa elit politik.

Bawaslu menurut Malonda akan melakukan beberapa langkah, pertama menjalin kerja sama dengan platform media sosial, serta kementerian dan lembaga negara terkait.

Kedua, melakukan pendekatan kepada kelompok atau komunitas hingga paling bawah guna mencegah kampanye yang menggunakan isu SARA.

“Salah satu alat ukur demokrasi berjalan dengan baik adalah terhindar dari penyelenggaran pemilu yang mengedepankan isu SARA dan politik identitas baik saat pemilu maupun pemilihan (pemilihan pemerintah daerah) tahun 2024,” jelas Malonda dalam diskusi daring bertema Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 sebagai Konsolidasi Demokrasi Menuju Indonesia Emas Tahun 2045 yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Jumat (15/7/2022).

Malonda menambahkan, Bawaslu akan menurunkan konten kampanye bermuatan politik identitas dari media sosial agar berita tersebut tidak menyebar ke masyarakat, bekerja sama dengan platform seperti Facebook (Meta), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan lainnya.

“Untuk mengantisipasi dan mengatur kalau ada hal-hal (ptensi) yang merusak sendi-sendi persaudaraan di media sosial. Hal itu dilakukan agar informasi tersebut tidak menyebar. Kemudian kita juga bekerja sama dengan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri terkait dengan penindakan berita hoaks, berita palsu, atau berita yang bisa menciderai persaudaraan kita,” tukas dia.

Baca Juga:  Pangdam XIII/Merdeka Terima Brevet Yudha Bramasta Wiratama

Sementara Dosen Ilmu Politik, Ferry Daud Liando, mengatakan politik identitas dalam literatur ilmu politik merupakan alat perjuangan untuk memobilisasi komunitas yang memiliki kepentingan yang sama untuk memperjuangkan lahirnya sebuah keputusan politik atau kebijakan publik yang berpihak pada komunitas tertentu.

Namun belakangan politik identitas kerap dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk kepentingan sendiri.

“Politik identitas sebetulnya telah menjadi fenomena tetapi tidak hangat dipersoalkan karena motifnya tentang perjuangan kemanusiaan seperti perjuangan kaum perempuan, perjuangan kaum buruh dan perjungan kelompok etnik/agama tertentu dalam perjuangan pembentukan daerah otonom baru serta pembentukan sejumlah partai politik berbasis keagamaan. Sebuah gerakan yang berlandaskan identitas dapat disebut politik identitas,” jelas Ferry Liando ketika memberikan materi tentang Pengaruh Politik Identitas pada Pemilu di Kantor Bawaslu Sulut, beberapa waktu lalu.

Liando menambahkan, awalnya politik identitas merupakan alat perjuangan politik untuk membela kepentingan kelompok akibat penindasan dan ketidak-adilan. Besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) yang setiap tahun naik tidak terlepas dari perjuangan serikat buruh seperti SBSI dan organisasi lain.

“Kebijakan affirmative action 30 persen jumlah perempuan di DPRD, Parpol dan penyelenggara Pemilu tidak lepas dari perjuangan para aktivis perempuan. Berdirinya Kabupaten Minahasa Selatan merupakan perjuangan etnik Tountemboan,” tukas Liando menyontohkan.

Baca Juga:  Kapendam XIII/Merdeka Bahas Peran dan Kiprah TNI di Era Modern Saat Dialog Interaktif di Radio Sumber Kasih Manado

Dosen Kepemiluan ini, menilai politik identitas mulai berubah drastis bahkan kian menakutkan. Menyatukan yang serupa dan memisahkan yang berbeda.

“Kita adalah kita dan mereka adalah mereka, dan kita berbeda. Mereka bukan yang lebih baik dari kita. Politik identitas seakan menjadi senjata untuk memainkan sentimen agama, etnis, ras dan gender untuk ‘menggolkan’ agenda-agenda politik,” kata Liando.

Politik identitas menjadi salah-satu strategi kelompok-kelompok politik dalam memenangkan kompetisi. Modusnya adalah menyadarkan kelompok tertentu seolah-olah kelompok itu telah tertindas dan diperlakukan secara tidak adil. Tema-tema kebencian makin menggelorakan semangat kelompok untuk bersatu dan melawan.

“Sikap politik pemilih akhirnya tidak lagi memilih berdasarkan kualitas calon melainkan dipengaruhi oleh kesamaan identitas calon dengan pemilih itu. Keputusan memilih bukan karena atas dasar kesenangan pada calon yang dipilih tetapi karena calon yang lain berbeda identitas dengannya. Tentu ini menjadi berbahaya bagi demokrasi elektoral ke depan,” terang Liando.

Dua cara yang bisa dilakukan untuk mencegah politik identitas menurut Liando adalah membatasi jumlah Parpol peserta Pemilu dan mengurangi atau menghapus syarat ambang batas pencaloan Presiden.

Jumlah Parpol yang terlalu banyak menyebabkan ada Parpol yang membuat ‘branding’ bernuansa identitas SARA untuk memobilisasi pendukung dan memusuhi yang lain berdasarkan perbedaan SARA.

“Kemudian tingginya syarat ambang batas pencalonan Presiden menyebabkan dua polarisasi dukungan,” pungkas Ferry Liando.

(***/JerryPalohoon)

 

 

Yuk! baca berita menarik lainnya dari MANADO NEWS di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP