Manado – Salah satu kendala bagi partai politik (parpol) dalam merekrut calon legislatif Pemilu 2024 adalah memenuhi kewajiban keterwakilan 30 persen perempuan dalam setiap daerah pemilihan (dapil).
Menurut dosen politik Unsrat, Ferry Daud Liando, jika syarat itu tidak terpenuhi maka risiko terberat adalah parpol tidak boleh menjadi kontestan dalam dapil itu.
“Pengalaman Pemilu 2019 lalu, terdapat beberapa kasus yang terjadi akibat syarat itu tidak terpenuhi,” ujar Ferry Liando kepada wartawan di Manado, Senin (20/3/2023).
Ada beberapa parpol yang sesungguhnya tidak menyertakan 30 persen caleg perempuan namun tetap diizinkan sebagai peserta di suatu dapil tetapi memiliki konsekuensi berat.
Konsekuensi itu adalah parpol terpaksa harus mencoret sejumlah caleg laki-laki guna memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan.
Dalam beberapa kasus, parpol sudah mengajukan caleg sebanyak 30 persen perwakilan perempuan. Namun pada saat proses verifikasi dokumen persyaratan ternyata ada caleg perempuan yang tidak memenuhi syarat atau TMS.
“Ketika dilakukan pembatalan caleg perempuan yang syaratnya TMS maka secara otomatis syarat keikutsertaan parpol dalam dapil dibatalkan,” tukas Liando.
Cara yang aman bagi parpol adalah mengajukan bakal caleg perempuan lebih dari 30 persen perempuan sehingga jika ada satu celeg perempuan yang TMS maka parpol tetap aman.
Cuma saja yang jadi masalah jika semua caleg perempuan ternyata syaratnya TMS. Maka konsekuensi terburuk adalah pembatalan parpol ikut serta di dapil itu.
“Hal ini wajib jadi perhatian parpol, sebab dengan banyaknya parpol yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024 maka parpol akan makin sulit memenuhi 30 persen caleg dari unsur perempuan,” jelas Ferry Liando.
Namun demikian parpol diingatkan agar tidak semata-mata merekrut caleg perempuan hanya sekedar syarat kepesertaan di dapil terpenuhi.
“Parpol harus tetap merekrut caleg perempuan terbaik, bukan sekedar jenis kelamin semata,” pungkas pakar kepemiluan ini. (JerryPalohoon)