Manado – Dalam kajian ilmu politik, koalisi parpol dimaksudkan adanya pembentukan parpol-parpol yang berideologi sejenis dalam parlemen.
Koalisi dimaksudkan agar parpol-parpol yang berideologi sama dapat berjuang bersama-sama melahirkan sebuah kebijakan publik.
Dalam hal pembentukan kekuasaan, koalisi harus dilakukan apabila belum ada parpol yang menguasai kursi lebih dari 50 persen di parlemen. Namun koalisi tetap memperhatikan kesamaan ideologi.
Pakar tata kelola pemilu, Ferry Daud Liando, mengungkapkan di Indonesia koalisi antar parpol tidak dimaksudkan sebagai penggabungan parpol yang memiliki kemiripan ideologi.
Partai nasionalis tanpa malu berkoalisi dengan partai religius. Begitu juga sebaliknya.
“Ironisnya lagi partai religius saling berhadap-hadapan. Begitu juga dengan partai nasionalis,” jelas Ferry Liando kepada wartawan di Manado, Senin (8/5/2023).
Sepertinya koalisi yang akan terbentuk saat ini hanya untuk kepentingan bagi-bagi jabatan bagi elit-elit politik. Efeknya rakyat tidak mendapatkan keuntungan apa-apa.
Pemilu tidak akan mengubah nasib rakyat, karena pemilu hanya menjadi momentum bagi elit-elit tentang siapa mendapatkan jabatan apa.
“Rakyat hanya diperas suaranya kemudian setelah itu akan dibiarkan. Hanya akan menjadi sasaran adu domba agar pemilu kelihatan dinamis,” tambah dosen ilmu politik Unversitas Sam Ratulangi (Unsrat) ini.
Pengalaman Pemilu 2019, elit-elit parpol yang kalah dalam pilpres ternyata tetap mengemis jabatan. Padahal, pada saat kampanye rakyat diadu domba dengan segala bentuk kebencian dan permusuhan.
“Bagi rakyat, cukup jadi penonton saja dengan sandiwara para elit. Jangan terprovokasi apalagi bermusuhan dengan sesama pemilih yang berbeda pilihan,” terang Liando.
(JerryPalohoon)
