Manado – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia (RI) mengusulkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau pilkada ditunda. Bawaslu beralasan ancaman keamanan dalam negeri.
Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat Ferry Daud Liando mengatakan bahwa usulan tersebut perlu mempertimbangkan banyak hal seperti harus merevisi Undang-Undang Pilkada.
Pasal 201 ayat 8 UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
“Jika ditunda maka memerlukan revisi undang-undang. Kemudian sejak 2021 hingga saat ini, pelaksanaan pilkada telah ditiadakan,” jelas Ferry Liando kepada wartawan di Manado, Selasa (18/7/2023).
Untuk mengisi jabatan kepala daerah diangkat penjabat oleh pemerintah pusat. Bagi kepala daerah yang baru menjabat 1 periode tentu mereka mengalami kerugian hak-hak politik karena tidak bisa melanjutkan periode kedua karena pilkada ditiadakan.
Jika ternyata pilkada tidak dilaksanakan pada 2024 maka mereka mengalami ketidak-adilan konstitusional dan hak-hak politik.
Namun demikian di satu sisi penundaan pilkada bukanlah sesuatu yang mustahil di tahun 2024.
“Bagi saya, pelaksanaan pilkada pada tahun 2024 sangat berisiko. Sebab, pemilu baru akan dilaksanakan 14 Februari 2024. Tahapan pemilu belum selesai tapi tahapan pilkada sudah harus dimuai,” tambah Liando.
Misalnya, soal pemutahiran data pemilih. Tahapan pilkada harus sudah dimulai 11 bulan sebelum tanggal pencoblosan. Jika Pilkada 2024 dilaksanakan pada November 2024, maka tahapan pilkada sudah harus dimulai pada Desember 2023.
Kelembagaan penyelenggara ad hoc pemilu dan pilkada diatur dalam dua undang-undang yang berbeda, maka ada hal yang berpotensi terjadi yaitu adanya PPK, Panwascam, PPS atau PKD pemilu dan akan terdapat juga PPK, Panwascam, PPS atau PKD.
Kemudian daftar pemilih yang akan digunakan pada 14 Februari 2024 belum juga akan digunakan tapi proses penyusunan daftar pemilih untuk pilkada sudah harus dilakukan.
“Padahal salah satu sumber data dalam penyusunan daftar pemilih pilkada adalah menggunakan daftar pemilih yang digunakan pada pemilu terkahir,” tukas pakar tata kelola pemilu ini.
Risiko lainnya adalah potensi adanya sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK sangat bervariasi. Ada perintah untuk pemilu ulang dan bisa akan berkali-kali. Dengan demikian konsentrasi penyelenggara maupun pihak kepolisian akan tidak fokus karena menghadapi dua kegiatan pemilihan.
Presiden terpilih 14 Februari 2024 baru akan dilantik pada Oktober 2024. Pengalaman Pilpres 2019, proses menuju pelantikan ditandai dengan kerusuhan dan kekacauan.
Kondisi negara yang belum kondusif akibat pilpres, kemudian langsung diperhadapkan pada dinamika pilkada yang juga rentan dengan konflik dan kerusuhan.
Permaslahan lain adalah risiko keuangan negara. Pemilu 2024 akan menghabiskan anggaran Rp76 triliun. Kemungkinan bisa mencapai Rp100 triliun karena terdapat juga lembaga lain yang mengurusi pemilu seperti TNI/Polri, lembaga peradilan, kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.
Jika di total dengan pilkada maka kemunginan akan mencapai Rp150 triliun hingga Rp200 triliun. Dalam tahun yang sama pemerintah juga akan membiayai pemindahan ibu kota dengan kisaran anggaran Rp500 triliun.
Risiko akan meningkatkan angka kemiskinan, karena anggaran negara digunakan untuk pembiayaan itu. Rakyat miskin akan picu kriminal dan kejahatan. Ancaman adanya kerusahan dan perpecahan bangsa harus dapat diantisipasi,” pungkas Ferry Liando.
(JerryPalohoon)