Manado, MN – Senin pagi, (26/5), aula Mapalus di kompleks Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Manado, ramai oleh derap langkah kepala-kepala sekolah dari 15 kabupaten dan kota.
Di ruang yang biasa digunakan untuk rapat-rapat formal dan seremoni pemerintahan itu, suasana mendadak berubah hangat ketika Gubernur Sulawesi Utara, Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus SE, berdiri di podium.
Tampil dalam balutan kemeja putih bersih, Yulius tak mengangkat isu politik, bukan pula membanggakan proyek mercusuar.
Yang dibahasnya pagi itu adalah hal yang kerap luput dari wacana besar pembangunan pendidikan: toilet sekolah.
“Saya harap perintah Presiden dijalankan. Toilet harus memenuhi tiga syarat: bersih, kering, dan tidak bau. Itu dulu. Rapi, apik, dan lain sebagainya, nanti,” katanya lantang, disambut anggukan dari para kepala sekolah.
Kalimatnya mungkin terdengar sederhana. Tapi di balik itu, tersimpan sebuah narasi penting tentang kepemimpinan yang membumi.
Sebuah kebijakan kecil yang justru menyentuh urat nadi kehidupan sekolah sehari-hari.
Lewat pengumuman ini, Gubernur Yulius meluncurkan program bantuan khusus senilai Rp9 miliar untuk memperbaiki fasilitas toilet di sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan sekolah luar biasa (SLB) di seluruh Sulawesi Utara.
Toilet, bagi banyak orang, hanyalah ruang fungsional. Namun bagi Yulius, toilet adalah titik mula peradaban. “Toilet itu cermin kita. Cermin sekolah. Cermin pemerintah juga. Jangan anggap sepele,” ujarnya dalam sesi wawancara setelah acara.
Kebijakan ini bukan semata-mata buah pemikiran sendiri. Ia merupakan terjemahan konkret atas arahan Presiden Prabowo Subianto yang mewajibkan kebersihan toilet sebagai indikator dasar lingkungan belajar yang layak.
Namun Gubernur Yulius tak ingin program ini hanya menjadi tempelan formal. Ia menaruh perhatian lebih pada pelaksanaan dan dampaknya di lapangan.
Ia menegaskan agar sekolah tidak menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pembangunan toilet.
“Saya khawatir di situ. BOS harus dipakai untuk pengajaran dan kebutuhan pokok murid. Toilet biar kami bantu,” katanya.
Menurutnya, perbaikan fasilitas dasar seperti toilet adalah bentuk nyata kepedulian terhadap martabat pelajar. Ia ingin agar para siswa tidak lagi merasa jijik, risih, atau bahkan enggan ke kamar kecil hanya karena fasilitas yang buruk.
“Saya tidak ingin ada siswa perempuan yang menahan pipis karena toilet sekolahnya jorok,” katanya.
Pada acara itu, Gubernur Yulius tidak hanya berbicara. Ia juga menampilkan dokumentasi visual: foto-foto toilet sekolah yang telah direnovasi. Bersih, terang, berpintu, dan—yang penting—berkunci. “Lihat ini. Bisa? Bisa dong. Tinggal kemauan,” ujarnya sambil menunjuk layar.
Dalam sambutannya, ia juga menyampaikan satu pengalaman pribadi yang cukup menyentil.
Beberapa waktu lalu, ia menerima laporan bahwa ada satu sekolah yang telah memperbaiki toiletnya sesuai standar.
Namun saat Gubernur mendatangi langsung lokasi tersebut, kenyataannya jauh dari yang dilaporkan. “Saya kecewa. Kalau sudah salah data, maka salah semua,” katanya, serius.
Bagi Yulius, transparansi dan kejujuran dalam pelaksanaan program adalah harga mati. Ia tidak ingin proyek toilet ini hanya bagus di laporan. “Ini bukan kerja panas-panas tahi ayam,” katanya menyindir. “Kita harus awasi terus. Ini bukan program sekali jadi.”
Yulius juga mengajak kepala sekolah untuk tidak pasif. Ia mendorong para pemimpin sekolah itu untuk aktif mengusulkan kebutuhan dan mengajak siswa menjaga kebersihan toilet secara kolektif.
Ia bahkan mengaitkan kebersihan toilet dengan pendidikan karakter. “Ajari anak-anak kita bertanggung jawab. Toilet bersih bukan hanya urusan tukang sapu. Ini pendidikan,” tegasnya.
Bagi Yulius, budaya bersih adalah bagian tak terpisahkan dari pembentukan karakter siswa.
Di sekolah, anak-anak tidak hanya belajar menghitung dan membaca, tapi juga belajar hidup bersama, menghormati ruang publik, dan menjaga lingkungan.
Kreativitas para kepala sekolah juga jadi perhatian. Ia tak ingin program ini berhenti di sekadar renovasi bangunan. Ia mendorong agar kepala sekolah mencari cara inovatif untuk melibatkan murid—dari lomba kebersihan antar-kelas, hingga sistem rotasi piket jaga toilet.
“Kita tidak bisa berharap punya generasi yang disiplin dan tangguh kalau dari toilet saja kita abai. Pendidikan karakter itu dimulai dari hal yang kelihatan sepele,” ujarnya.
Kebijakan Gubernur Yulius ini mungkin akan luput dari pemberitaan media nasional. Tak ada groundbreaking, tak ada gunting pita, apalagi proyek triliunan.
Tapi di sekolah-sekolah kecil yang tersebar dari Minahasa sampai Talaud, dari Bitung hingga Bolmong, perubahan mulai terasa. Toilet-toilet sekolah yang sebelumnya gelap dan bau, kini mulai menjadi ruang yang bersih, terang, dan terjaga.
Di sanalah, sebenarnya, perubahan besar dimulai.(James)