Manado, MN – Pagi itu di Likupang, Sulawesi Utara, cahaya matahari menyelinap perlahan dari balik bukit dan menari di atas permukaan laut.
Langit membentang jernih, sebersih permukaan kaca yang baru diguyur hujan malam.
Di kejauhan, perahu nelayan meluncur tenang, jaring diturunkan ke laut yang tampak biru pekat. Di daratan, hamparan hijau kebun cengkeh, pala, dan kelapa menjalar sampai ke kaki gunung.
Bagi warga di sini, ini bukan sekadar lanskap. Ini adalah nadi kehidupan.
Kini, gambaran itu bukan lagi sekadar kenangan atau cita-cita, tetapi telah dijadikan arah resmi pembangunan.
“Langit Biru, Laut Biru, Daratan Hijau” bukan sekadar slogan puitis, tetapi konsep strategis pembangunan berkelanjutan dari Gubernur Yulius Selvanus Komaling untuk Sulawesi Utara.
Warna yang Menjadi Arah
Konsep ini lahir dari pemahaman mendalam bahwa alam dan manusia di Sulawesi Utara tak bisa dipisahkan.
Ia dirumuskan dari tapak-tapak realitas: udara yang mulai tercekik polusi, laut yang semakin tercemar, dan daratan hijau yang pelan-pelan dikikis oleh tambang dan beton.
Maka Yulius tidak datang menawarkan mimpi kosong, melainkan strategi pemulihan peradaban berbasis ekologi.
Langit biru adalah simbol dari udara bersih dan ruang hidup sehat. Program penataan transportasi, transisi energi ramah lingkungan, dan pelarangan pembakaran terbuka di daerah pertanian menjadi bagian konkret dari langkah mewujudkannya.
“Jika langit sudah tak biru, maka anak-anak kita tumbuh dalam ketakutan,” ujar Yulius dalam satu forum perencanaan daerah.
Laut biru adalah nadi ekonomi maritim yang harus dijaga dari kerakusan zaman.
Dari Bitung hingga Sangihe, laut bukan hanya tempat mencari makan, tetapi ruang budaya dan identitas.
Yulius mendorong konservasi wilayah pesisir, revitalisasi industri perikanan, hingga penegakan hukum terhadap penambang pasir laut ilegal.
Ia percaya: laut harus tetap biru, agar masyarakat pesisir tetap hidup.
Daratan hijau, yang dulu menjadi kebanggaan Minahasa Raya dan Bolaang Mongondow, kini dirancang menjadi pusat agropolitan berkelanjutan.
Tak hanya soal pertanian organik dan reboisasi, tetapi juga soal pengembalian hak hidup masyarakat adat atas tanahnya sendiri.
Yulius menyebut hijau bukan warna hiasan, tapi fondasi dari ketahanan pangan, air, dan budaya.
Dari Slogan Menjadi Arah Kebijakan
Konsep “Langit Biru, Laut Biru, Daratan Hijau” telah mulai diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dengan indikator jelas: penurunan emisi, peningkatan luas kawasan lindung, hingga indeks kualitas lingkungan hidup.
Bukan pekerjaan mudah, tapi inilah medan sesungguhnya dari kepemimpinan.
Namun jalan menuju sana bukan tanpa batu. Investasi tambang yang kian agresif, industri properti yang meluas ke pesisir, hingga tekanan politik dari pusat, menjadi tantangan yang terus-menerus menguji komitmen.
Tapi Yulius, purnawirawan jenderal yang kini menyatu dengan tanah kelahiran, tak tampak ragu.
Dalam berbagai pidato, ia menyuarakan hal yang sama: Sulawesi Utara tidak butuh pertumbuhan yang membakar tanah, meracuni laut, dan memenjarakan udara.
Warisan Bagi Generasi Sulawesi Utara
Di desa-desa pesisir Talaud, di kebun pala Minahasa, dan di jantung hutan Bolaang Mongondow, konsep ini pelan-pelan mulai hidup. Bukan karena dipaksakan dari atas, tapi karena ia tumbuh dari pemahaman lokal, yang kini mendapat ruang dalam kebijakan.
Karena bagi masyarakat Sulawesi Utara, seperti halnya bagi Gubernur Yulius Selvanus Komaling, langit biru, laut biru, dan daratan hijau bukanlah kemewahan. Itu adalah hak hidup, dan warisan untuk generasi mendatang.(Januar)