Bitung, Manadonews.co.id – Aksi dua warga di depan Polres Bitung pada Rabu, 13 Agustus 2025, mungkin tampak sepele bagi yang lewat, hanya satu baliho, dua orang, dan suara lantang.
Tapi, dibalik itu tersimpan cerita gelap tentang bagaimana tanah rakyat bisa berpindah tangan melalui celah administrasi dan lemahnya penegakan hukum.
Neltje Loloh dan Robby Supit mewakili Keluarga Herman Loloh Wantah, pemilik sah dua sertifikat hak milik sejak 1982. Namun, pada 1988, muncul sertifikat baru atas nama Devie Ondang yang saat itu masih berusia 13 tahun. Sertifikat ini dijual ke perusahaan tambang, tanpa melibatkan BPN lalu dijadikan dasar penguasaan lahan.
Menurut Robby Supit, BPN Kota Bitung telah mengeluarkan sebanyak 5 surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik Keluarga Herman Loloh Wantah. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara telah mengeluarkan surat perintah bayar kepada PT MSM/PT TTN.
Pengakuan salah seorang karyawan PT MSM telah menyampaikan bahwa tanah tersebut milik Herman Loloh, tapi fakta-fakta itu diabaikan oleh penyidik Polres Bitung dan menggantung laporan selama dua tahun lebih tanpa kepastian.
“Kami sudah dua tahun diombang-ambing, bahkan sertifikat Herman Loloh Wantah sebagai korban terancam disita penyidik,” kata Robby Supit.
Ia juga menuding ada standar ganda dalam hukum. “Kalau terpidana korupsi dibebaskan, kenapa korban perampasan tanah tidak mendapat perlindungan?” Tukas Supit.
Ketika berorasi, Robby Supit meminta kepada Gubernur Sulut dan wakil rakyat utusan Sulut di Senayan, jika masih punya nurani untuk membantu rakyat jelata yang mencari keadilan, agar minta Kapolri untuk mengevaluasi kinerja Polres Bitung.
Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di Kota Bitung. Beberapa kasus serupa di Sulut mengalami pola yang sama yakni sertifikat ganda, transaksi cepat ke koorporasi, lalu mandek di kepolisian.
(VM)