Bali, MN – Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini tak lagi hanya membantu pekerjaan manusia. Ia telah menjadi alat baru untuk membentuk persepsi, menggiring opini, bahkan memanipulasi kebenaran di ruang publik Indonesia.
Ketika algoritma, buzzer, dan content creator bayaran bersatu dalam satu ekosistem, yang muncul bukan lagi fakta, melainkan ilusi kebenaran yang dirancang dengan presisi digital.
Framing Otomatis: Ketika Algoritma Menentukan Kebenaran
Dalam lanskap media modern, algoritma telah mengambil sebagian peran redaksi. Ia menentukan berita apa yang muncul di linimasa, video apa yang direkomendasikan, dan opini siapa yang dianggap “relevan”.
Masalahnya, algoritma ini tidak memahami etika, hanya statistik. AI bekerja untuk memperkuat keterlibatan (engagement), bukan keseimbangan informasi.
Maka, publik pun terperangkap dalam filter bubble, ruang gema digital yang hanya memperdengarkan apa yang ingin mereka dengar.
Di titik inilah framing terjadi secara halus. Narasi dibentuk, persepsi diarahkan, dan perlahan publik kehilangan kemampuan membedakan antara fakta dan fabrikasi.
Buzzer, Clipper, dan Propaganda yang Diotomatisasi
Buzzer bukan lagi sekadar akun anonim yang menyerang lawan politik. Mereka kini bekerja terkoordinasi dengan sistem berbasis AI.
Melalui AI comment generator dan sentiment mapping, ribuan komentar dapat diproduksi secara otomatis tampak alami, padahal dikendalikan oleh bot.
Sementara itu, clipper atau pengedit video politik memanfaatkan AI untuk memotong pernyataan tokoh secara selektif, menciptakan potongan konten viral yang menggiring persepsi publik.
Dalam sekejap, algoritma memperkuat penyebaran narasi tersebut hingga menjadi opini dominan di ruang digital.
Content Creator Bayaran: Wajah Baru Propaganda
Era influencer melahirkan wajah baru propaganda. Dengan iming-iming kontrak kerja sama, sejumlah content creator kini menjadi penyampai pesan politik yang dibungkus gaya personal dan ringan.
Video mereka tampak seperti opini jujur, tetapi sebenarnya telah dikoreksi, diarahkan, bahkan ditulis berdasarkan briefing dari tim komunikasi tertentu.
AI turut memperkuat strategi ini dengan menyediakan data demografi, analisis emosi audiens, dan waktu publikasi paling efektif. Hasilnya, pesan yang disebar terasa natural, padahal sepenuhnya terencana.
Krisis Kepercayaan Publik dan Ilusi Kebenaran
Bahaya terbesar dari penggiringan opini berbasis AI adalah hilangnya garis batas antara fakta dan fiksi.
Masyarakat, yang terus-menerus disuguhi narasi seragam, lambat laun percaya bahwa itu adalah kebenaran sejati.
Fenomena ini dikenal sebagai illusory truth effect, semakin sering sesuatu diulang, semakin dianggap benar.
Akibatnya, publik mulai curiga pada media arus utama, dan malah mempercayai sumber-sumber yang lebih manipulatif.
Jika ini terus terjadi, Indonesia akan menghadapi krisis kepercayaan terhadap media dan institusi publik, yang bisa menggoyahkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Solusi: Saatnya Pemerintah Bertindak
Pemerintah Indonesia tidak bisa lagi bersikap reaktif. Diperlukan kebijakan etis, sistemik, dan kolaboratif untuk menata penggunaan AI dalam ruang publik. Beberapa langkah strategis dapat dipertimbangkan:
- Regulasi Etika AI dan Media Digital
Pemerintah perlu mempercepat penyusunan AI Ethics and Transparency Act, yang mengatur penggunaan AI dalam produksi konten dan distribusi informasi publik. Setiap platform harus menyertakan tanda pengenal untuk konten yang dihasilkan atau dimodifikasi AI. - Verifikasi dan Labelisasi Informasi
Lembaga seperti Kominfo dan Dewan Pers dapat bekerja sama menciptakan AI Content Verifier, sistem yang memindai dan memberi label pada konten yang dicurigai hasil rekayasa algoritma.
Ini penting agar publik tahu mana konten otentik dan mana yang hasil manipulasi mesin. - Edukasi Literasi Digital Nasional
Literasi digital tidak boleh berhenti pada kemampuan mengakses internet. Harus ditingkatkan menjadi literasi algoritmik, yakni kemampuan memahami bagaimana algoritma bekerja membentuk pandangan kita.
Kurikulum sekolah dan program masyarakat perlu memasukkan aspek ini. - Transparansi Iklan dan Sponsorship Digital
Pemerintah harus mewajibkan platform dan kreator untuk mengungkap sponsor atau afiliasi politik di balik konten yang mereka buat. Ini bagian dari perlindungan hak publik untuk mengetahui sumber pesan. - Kolaborasi Media–Pemerintah–Akademisi
Dunia pers harus diberi ruang independen untuk melakukan riset dan pengawasan publik terhadap penggunaan AI dalam komunikasi politik. Pemerintah sebaiknya tidak mengontrol, tetapi mendukung ekosistem media independen yang beretika.
Menjaga Akal Sehat di Tengah Gelombang AI
Kecerdasan buatan bukan musuh. Ia adalah alat yang bisa membawa kemajuan luar biasa, jika dikendalikan dengan nilai, bukan kepentingan.
Media, pemerintah, dan masyarakat harus bersama-sama memastikan bahwa AI tidak menjadi mesin propaganda, melainkan tetap menjadi alat pencarian kebenaran.
Karena pada akhirnya, demokrasi hanya bisa bertahan bila publik memiliki hak untuk berpikir jernih, bukan digiring untuk percaya pada ilusi. (AL)