Berita TerbaruBerita UtamaNasional

Republik Distraksi: Ketika Bangsa Sibuk Menertawakan Kebohongan

×

Republik Distraksi: Ketika Bangsa Sibuk Menertawakan Kebohongan

Sebarkan artikel ini

Di negeri yang katanya “ramai tapi sepi”, kabar penting sering mati pelan-pelan di bawah reruntuhan berita receh.

Ketika kasus korupsi menggulung raksasa bisnis dan politik, publik justru sibuk menertawakan ijazah palsu, logat menteri, atau video potongan tiga detik yang disebar Clipper dan disulut para buzzer.

MANTOS MANTOS

Selamat datang di Republik Distraksi negara yang lebih suka membahas gaya bicara ketimbang isi kebijakan.

Panggung Receh Bernama Media

Media sosial dan media arus utama kini seperti dua panggung sirkus dengan penonton yang sama: rakyat yang lapar hiburan. Di satu sisi, portal berita berlomba membuat headline yang lebih keras dari realitas.

Di sisi lain, media sosial menjadi pabrik meme politik, di mana logika dikalahkan oleh tawa, dan fakta oleh sensasi.

Hari ini, orang lebih hafal ekspresi Bahlil Lahadalia di TikTok ketimbang nasib buruh yang kehilangan pekerjaan.

Lebih ramai membicarakan ijazah Jokowi dan anaknya daripada membedah dugaan korupsi Riza Chalid dan keturunannya.

Sementara itu, di ruang yang lebih sunyi, hutan-hutan Kalimantan dibabat demi nikel dan sawit. Anak-anak di Papua masih dihitung sebagai statistik pelanggaran HAM yang tak pernah selesai.

Lalu, ketika program Makan Bergizi Gratis menimbulkan keracunan, hanya sedikit yang bertanya: di mana tanggung jawab sistemnya? Sisanya memilih menertawakan tagar-tagar lucu di Twitter (atau X, entahlah).

Baca Juga:  Anggota DPRD Sulut Jalani Reses, 9 September Paripurna Tutup Buka

Ketika Klip Jadi Kebenaran

Di masa lalu, wartawan memegang kode etik. Di masa kini, algoritma yang menulis etika baru.

Potongan video tiga detik bisa membuat pejabat tampak jujur, bisa juga tampak bodoh, tergantung siapa yang memotong. Clipper, influencer, dan buzzer menjadi penguasa baru ruang opini.

 

Mereka bukan bekerja untuk kebenaran, tapi untuk engagement.

Media mainstream pun tak banyak beda. Banyak yang memilih aman dengan menggiring narasi “populer” agar tidak kehilangan pembaca dan iklan. Investigasi yang mahal dikalahkan oleh berita clickbait yang murah. Kebenaran kini harus bersaing dengan kecepatan.

Politik Pengalihan yang Dibungkus Tren

Distraksi bukan kebetulan. Ia adalah strategi.
Ketika ada skandal besar yang berpotensi mengguncang kekuasaan, muncullah isu-isu manis seperti gula-gula: drama influencer, gosip politik ringan, hingga meme pejabat yang viral.

Publik disuapi kabar yang lucu, absurd, atau provokatif agar tidak sempat mencerna persoalan yang lebih gelap. Seperti menyalakan kembang api di tengah kebakaran hutan, indah, tapi menipu pandangan.

Lihat saja linimasa kita: setiap kali muncul laporan korupsi, isu lain langsung meledak. Entah tentang selebritas politik yang saling sindir, atau potongan video seorang pejabat yang salah bicara. Semuanya dirancang agar perhatian publik berpindah, setidaknya cukup lama untuk membuat kasus besar itu mendingin.

Kita yang Diam-Diam Menikmatinya

Yang paling berbahaya bukanlah mereka yang menciptakan distraksi, tapi kita yang menikmatinya tanpa sadar.
Kita menekan tombol “like”, “share”, dan “retweet” tanpa berpikir bahwa setiap klik adalah bahan bakar bagi mesin manipulasi. Kita menertawakan pejabat, tetapi lupa bertanya kenapa pajak makin tinggi dan pekerjaan makin susah. Kita marah di kolom komentar, tapi lupa membaca laporan investigasi yang lebih panjang dari satu paragraf.

Baca Juga:  Paldam XIII/Merdeka dan Kikav 10/MSC Terima Tim Penilai Reformasi Birokrasi TNI AD

Kita semua, tanpa sadar, sedang menjadi relawan gratis dalam proyek pembodohan massal.

Kembali ke Akal Sehat

Mungkin sudah saatnya bangsa ini detoks digital, membersihkan diri dari berita palsu, headline kosong, dan hasrat memburu sensasi.
Kita butuh media yang berani menulis apa yang perlu, bukan apa yang viral. Kita butuh jurnalis yang tak takut kehilangan klik demi menyelamatkan nurani. Dan kita, para pembaca, perlu berhenti menjadi pemuja kebisingan.

Karena bila semua terus begini, kita akan bangun suatu pagi dan mendapati bahwa negeri ini masih sama, hanya lebih bising, lebih dangkal, dan lebih mudah ditipu.

Catatan Akhir:
Kebenaran tak pernah viral dengan sendirinya. Ia butuh ruang yang jujur, butuh publik yang mau berpikir. Tapi di negeri yang terlalu sibuk menertawakan kebohongan, kebenaran sering kali kalah sebelum sempat bicara.

Yuk! baca berita menarik lainnya dari MANADO NEWS di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *