Manadonews.co.id – Ruang sidang Pengadilan Negeri Manado, Senin, 24 November 2025, mendadak sunyi, hening yang menyelimuti bukan karena ketegangan hukum, melainkan karena getaran kejujuran yang disampaikan dari mimbar pembelaan.
Di sana berdiri, bukan hanya terdakwa, tetapi seorang pelayan Tuhan, Ketua Sinode BPMS GMIM, Pdt. Hein Arina, yang membacakan pledoi (nota pembelaan) atas tuduhan yang menguji 36 tahun pengabdiannya.
Dengan suara yang tenang namun terarah, Pdt. Arina memulai pembelaan dengan menegaskan kembali prinsip hidupnya: jabatannya bukanlah mahkota kehormatan, melainkan tanggung jawab besar di hadapan Tuhan dan jemaat.
Inti pembelaan Pdt. Arina adalah penegasan integritas dalam penggunaan dana hibah COVID-19.
“Saya tidak pernah sedikit pun menggunakan dana hibah itu untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau siapa pun. Dana itu bukan milik kami. Itu amanah dari negara yang harus dipertanggungjawabkan, kepada gereja dan kepada Tuhan,” tegasnya di hadapan Majelis Hakim.
Ia menguraikan bagaimana seluruh dana tersebut telah disalurkan untuk misi kemanusiaan: menguatkan gereja, menopang pendidikan, melayani masyarakat luas, hingga membangun Rumah Sakit GMIM yang kini menjadi tempat ‘kasih Tuhan bekerja melalui tangan-tangan yang merawat luka dan menyelamatkan nyawa’.
Secara emosional, ia mencontohkan bantuan untuk para pelayan Tuhan yang lanjut usia—sebuah penghargaan kecil bagi mereka yang telah menyerahkan hidup untuk jemaat.
Baginya, itu adalah tanda kasih dan penghormatan, bukan kemewahan.
Pdt. Arina mengakui bahwa sebagai pemimpin lembaga, ia hanya menandatangani dokumen administratif. Ia dengan jujur meletakkan perbedaannya:
“Saya seorang pendeta. Saya tidak lahir untuk mengejar harta, tapi untuk melayani. Jika ada kekurangan administrasi, itu semata karena keterbatasan saya memahami teknis birokrasi, bukan karena niat jahat,” katanya.
Pembelaan ini menggeser fokus dari niat kriminal menjadi potensi kelemahan teknis seorang rohaniwan di tengah pusaran birokrasi.
Bagian paling menyayat hati datang ketika Pdt. Arina menceritakan dampak kasus ini terhadap kehidupan pribadinya.
Ia berjuang menahan air mata saat mengisahkan kehancuran batin keluarganya.
“Mereka menangis, mereka diam, karena martabat yang kami jaga seumur hidup direndahkan dengan tuduhan yang tidak benar,” bebernya.
Momen terberat dalam hidupnya adalah ketika ia ditahan satu hari sebelum Jumat Agung—hari suci mengenang kematian Kristus.
Permintaan untuk menunda penahanan demi menunaikan tugas rohani ditolak. Selama 222 hari ditahan, ia mengaku sering bertanya: apakah ia masih kuat?
“Saya tidak kuat. Tetapi Tuhan yang menguatkan saya,” ucapnya, mengutip ayat pegangan hidup: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia…”
Ia menyimpulkan pergulatan itu sebagai jalan salib yang harus ia pikul, namun ia tetap percaya bahwa setiap salib di ujungnya ada kebangkitan, dan setiap persidangan memiliki ujung keadilan.
Menjelang akhir pledoi, Pdt. Arina menyampaikan kalimat yang membuat banyak hadirin menundukkan kepala. Ia menutup kisah penderitaan dengan sikap spiritual yang mulia.
“Saya memaafkan semua yang menghina saya, yang menuduh saya, yang merendahkan keluarga saya. Membenci tidak membawa saya ke mana-mana. Tapi memaafkan. Itulah jalan Tuhan,” tegasnya.
Ia menutup pembelaan dengan suara tegas namun penuh harap, memohon Majelis Hakim untuk melihat perkara ini dengan hati nurani yang jernih.
“Saya tidak bersalah. Tidak ada unsur memperkaya diri, tidak ada kerugian negara, tidak ada niat jahat. Yang ada hanyalah tanggung jawab moral seorang pelayan Tuhan.”
Pesan penutup yang ia sampaikan kepada Majelis Hakim adalah permohonan keadilan yang utuh.
“Keadilan bukan hanya menghukum yang bersalah, tapi juga melepaskan yang benar. Kiranya palu keadilan tidak memecahkan manusia yang jujur, tetapi menegakkan kebenaran di hadapan Tuhan,” tandasnya.

Pledoi ini bukan sekadar pembelaan hukum, melainkan sebuah kesaksian iman yang menguji makna integritas, pengorbanan, dan kemanusiaan di ruang pengadilan. (Jerry)












