Berita TerbaruBerita UtamaManadoSulawesi Utara

Si Tou Timou Tumou Tou: Ketegasan Gubernur Yulius sebagai Pelajaran Integritas

×

Si Tou Timou Tumou Tou: Ketegasan Gubernur Yulius sebagai Pelajaran Integritas

Sebarkan artikel ini

Manado, MN – Ketika kabar tentang rencana pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus, berhembus, reaksi publik tak hanya berhenti pada rasa ingin tahu; ia berubah menjadi ujian integritas.

Di tengah kabar itu, pernyataan tegas dari jajaran Staf Khusus yang menyatakan bahwa Gubernur menolak dan tidak pernah mengusulkan gelar tersebut bukan saja klarifikasi administratif—ia adalah momen moral yang patut dipuji. 

MANTOS MANTOS

Mengapa penolakan ini penting?

Karena gelar honoris causa sejatinya adalah simbol penghormatan akademik: diberikan sebagai pengakuan atas jasa luar biasa, bukan sebagai aksesori kehormatan yang bisa digenggam untuk kepentingan citra.

Secara praktis, gelar kehormatan menggantikan proses akademik formal dengan penilaian kehormatan—dan karena itulah prosesnya harus terlindungi dari kepentingan politis dan transaksi simbolik.

Jika mekanisme penghargaan ini dirasa berbelit kepentingan di luar akademik, maka nilai simbolik gelar itu sendiri runtuh.

Berita bahwa usulan pemberian gelar sempat diperdebatkan dalam rapat senat sebuah perguruan tinggi  dan berlangsung di luar koordinasi staf khusus menambah dimensi pelik pada persoalan ini.

Di sinilah masalah sistemik muncul: ketika kelembagaan pendidikan tinggi menjadi arena tawar-menawar kehormatan publik, kredibilitas universitas dan martabat akademik keduanya dipertaruhkan. Kejadian seperti ini harus menjadi alarm bagi civitas akademika: siapa yang punya hak mengusulkan, apa kriterianya, dan apakah prosesnya transparan?

Baca Juga:  Paripurna HUT Provinsi: Kesenjangan Pendapatan Masyarakat Sulut Kategori Sedang

Masuklah kearifan lokal yang sederhana namun gamblang: Si Tou Timou Tumou Tou — manusia hidup untuk memanusiakan manusia; hidup untuk mendidik, mengembangkan, dan menjadikan sesama lebih manusiawi.

Filosofi ini bukan retorika kosong; ia menuntut tindakan nyata yang mengutamakan kemanusiaan di atas kepentingan simbolik.

Ketika seorang pemimpin menolak gelar kehormatan yang berpotensi menjadi alat pencitraan, ia sesungguhnya sedang menegakkan prinsip itu: menempatkan martabat publik dan tugas pengabdian di atas kepentingan pribadi.

Lebih tajam lagi: fenomena gelar kehormatan yang diselewengkan bukan hanya soal satu orang atau satu universitas. Ia mencerminkan budaya politik yang menganggap simbol lebih berharga daripada substansi.

Di banyak belahan, gelar kehormatan yang semestinya menjadi puncak apresiasi atas karya, berubah menjadi trofi prestise bagi mereka yang haus pengakuan. Dampaknya? Publik semakin susah membedakan prestasi nyata dan klaim-kehormatan yang diproduksi melalui mekanisme tak transparan.

Dalam konteks ini, sikap gubernur yang menolak bukan hanya pilihan pribadi—ia panggilan moral yang menuntut akuntabilitas lembaga pendidikan tinggi dan elit politik sekaligus.

Agar makna honoris causa tidak tergerus pragmatisme, ada kewajiban institusional: universitas harus menetapkan prosedur baku, terbuka, dan berlandaskan kriteria akademik yang jelas sesuai pedoman pemberian gelar kehormatan yang diatur dalam peraturan dan praktik nasional.

Baca Juga:  Sudah Police Line Aktivitas Pertambangan Masih Berlangsung, Aktivis Sebut Penghinaan Terhadap Institusi Polri

Jika perlu, publik berhak menuntut keterbukaan: daftar pengusul, alasan akademis, dan notulen rapat senat yang memutuskan.

Tanpa transparansi, gelar kehormatan berubah menjadi komoditas reputasi, bukan penghargaan ilmu pengetahuan.

Akhirnya, tindakan menolak gelar itu menjadi cermin: menegaskan bahwa kepemimpinan yang beradab memilih kerja dan tanggung jawab ketimbang kilau simbolik. Dalam masyarakat yang masih rapuh terhadap ritual status, contoh seperti ini yang menempatkan si tou (manusia) pada pusat tugasnya untuk timou tumou tou (hidup dan mendidik sesama) adalah oase integritas.

Semoga momentum ini tidak berlalu sebagai headline singkat: semoga ia berkembang menjadi etika baru di mana gelar diberikan untuk menghargai pelayanan dan ilmu, bukan untuk memoles citra.

Jika kita serius pada adagium Minahasa itu, ruang publik akan menuntut lebih: bahwa semua penghormatan apapun namanya—diberikan, diterima, dan dipertahankan dengan cara yang memanusiakan, bukan yang memperdagangkan kehormatan. Itu bukan retorika; itu tanggung jawab bersama.(Januar)

Yuk! baca berita menarik lainnya dari MANADO NEWS di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP

Banner Memanjang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terbaru

MANADO,MANADONEWS.CO.ID- Resimen Induk Militer (Rindam) XIII/Merdeka menunjukkan peran aktifnya dalam mendukung program pemerintah, melalui kehadiran Danrindam XIII/Merdeka Brigjen TNI Wempi Ramandei dalam pembagian Makan Bergizi Gratis (MBG), Jumat (26/9/2025) di…