Manado, MN – Sulawesi Utara pernah melalui banyak pemimpin, namun kisah perjalanan Yulius Selvanus Komaling atau yang akrab disebut YSK adalah satu yang paling menarik untuk dicatat.
Ia datang bukan dari barisan kandidat unggulan, tetapi justru dipilih rakyat karena ketegasan, integritas, dan rekam jejak sebagai seorang jenderal militer.
Bidang intelijen adalah keahliannya; kepekaan membaca situasi adalah senjatanya.
Namun, yang ia hadapi sebagai gubernur hari ini bukan medan tempur bersenjata, melainkan medan birokrasi yang justru lebih pelik dan penuh jebakan.
YSK berulang kali menunjukkan kemurahan hati dengan memberikan kesempatan bagi birokrat dan ASN untuk bertobat, kembali ke jalan yang benar, dan menjalankan tugas sesuai sumpah jabatan.
Akan tetapi, kesempatan itu seringkali berbuah sia-sia. Masih terlalu banyak aparatur yang tidak loyal, bahkan terang-terangan mempermainkan gubernurnya sendiri.
Publik masih ingat bagaimana seorang birokrat senior sempat viral videonya ketika menolak mengembalikan mobil dinas. Sebuah insiden yang memperlihatkan betapa rapuhnya disiplin birokrasi.
Tidak berhenti di situ, istilah “partai ASN” pun merebak, menandai kelompok aparatur yang lebih sibuk membangun loyalitas pada kepentingan tertentu daripada pada negara dan pemimpinnya.
Kesalahan informasi pun kerap mempermalukan sang gubernur. YSK beberapa kali tampil dengan seragam yang keliru, atau menyampaikan pidato dengan data yang salah bukan karena kelalaiannya, melainkan karena naskah dan arahan yang disiapkan ASN cacat sejak awal.
Publik mungkin hanya melihat sisi luar: seorang gubernur yang salah kostum atau keliru data.
Namun, di baliknya, ada kelalaian aparatur yang merusak wibawa seorang pemimpin yang tulus bekerja.
Yang lebih menyedihkan, di tengah kerja berat ini, muncul pula isu internal: kabarnya, “cukup satu tahun saja beliau memimpin.”
Sebuah desas-desus yang menunjukkan adanya kekuatan yang ingin memotong kepemimpinan YSK di tengah jalan.
Sementara di media sosial, para buzzer terus menggempur dengan stigma “gubernur pesta” atau “nyanda dapa lia hasil. ”
Mereka seakan lupa bahwa YSK adalah seorang mantan jenderal dengan latar belakang intelijen bukan tipikal pemimpin yang mudah dipermainkan.
Pertanyaan yang menggantung kini adalah: entah ini konspirasi titipan para politisi oposisi, ataukah semata-mata ulah individu-individu birokrat yang memang bermasalah. Yang jelas, ujian terhadap kesabaran seorang Yulius Selvanus tampaknya belum berakhir.
Namun satu hal pasti: YSK tidak berdiri sendiri. Ia mengemban tugas berat dari Presiden Prabowo Subianto, putra Sulawesi Utara yang menitipkan kepercayaan besar kepadanya. Amanat itu terlalu mulia untuk dikhianati.
Maka publik pun bertanya-tanya, apakah pada tahun kedua kepemimpinannya Yulius akan tetap memilih jalan sabar, ataukah ia akan mengambil langkah berbeda tegas, bersih, dan berani—untuk menghentikan permainan birokrasi dan politisi yang berusaha menghambatnya?
Apa pun pilihannya, perjalanan ini akan menjadi catatan sejarah: bagaimana seorang mantan jenderal, yang ditempa di dunia intelijen, diuji kesabarannya di arena birokrasi yang sering kali lebih licin daripada medan perang. (Jan)