dr. Arthur H.P. Mawuntu, Sp.S
Bagian/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/
RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado
SEBELUM ditemukan mesin ventilator – suatu mesin yang mampu membantu pernafasan – di awal tahun 1800-an, mendefinisikan kematian sepertinya tidak begitu sulit. Tidak lama setelah jantung berhenti berdetak maka manusia akan mati. Setelah mesin ventilator ditemukan, disertai dengan perkembangan pengetahuan kedokteran, maka semakin sering dijumpai pasien yang otaknya sudah mati tetapi jantungnya masih tetap berdenyut. Ilmu kedokteran modern memungkinkan dokter manipulasi tubuh sehingga fungsi-fungsi vital pasien tetap berfungsi selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Akibatnya, konsep kematian secara tradisional yang beranggapan bahwa mati adalah berhentinya fungsi pernafasan dan fungsi jantung menjadi tidak memadai lagi. Hal ini mulai menjadi perdebatan pada pertengahan tahun 1900-an. Pada titik ini definisi mati otak atau mati batang otak menjadi penting.
Konsep mati otak cukup sulit dipahami oleh masyarakat awam. Seseorang pasien terlihat seperti tidur nyenyak, masih teraba hangat, seperti sedang bernafas (dengan bantuan ventilator), jantungnya masih berdetak, dan di layar pemantau kondisi pasien masih terbaca tekanan darahnya. Namun demikian dia dinyatakan sudah mati. Mungkinkah itu?
Sebagian dari pembaca yang budiman pasti pernah berhadapan dalam situasi sulit saat dokter yang merawat kerabat Anda menyatakan bahwa kerabat Anda sebenarnya sudah meninggal karena telah mengalami mati otak. Para dokter menyatakan akan menghentikan perawatan karena pasien telah meninggal. Walaupun demikian, Anda melihat kerabat Anda sepertinya masih hidup. Banyak pertanyaan yang tentu timbul di benak Anda. Beberapa di antaranya akan kita bahas pada kesempatan ini.
Dilema Etis Mati Otak
Penentuan mati menjadi dilema etis bagi para dokter selama bertahun-tahun setelah mesin ventilator ditemukan. Mereka harus memutuskan apakah pada seorang pasien koma, otaknya sudah mati meski jantung masih berdetak? Jika otak memang sudah mati maka otak tidak akan lagi memproduksi zat-zat kimia yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi vital tubuh dan jantungpun akhirnya akan berhenti berdetak. Namun…..bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Bagaimana jika para dokter salah? Harus ada panduan dan prosedur yang jelas untuk menghindari hal ini terjadi.
Pada tahun 1968, Kongres Kedokteran Sedunia ke-22 di Sydney, Australia menyatakan bahwa mati adalah suatu proses yang terjadi bertahap. Kemampuan setiap jaringan untuk bertahan terhadap keadaan tanpa oksigen bervariasi. Hal ini sejalan dengan pernyataaan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati (SK PB IBI No. 231/PB/A.4/90). Namun demikian, secara klinis, definisi mati tidak menunggu kematian seluruh sel tubuh melainkan tergantung pada keadaan seseorang secara utuh. Jadi yang menjadi patokan bukan oleh selesainya tahap-tahap kematian seluruh sel dalam tubuh. Yang menjadi patokan adalah bukti bahwa proses tersebut sudah tidak dapat dibalikkan meski telah dikerjakan berbagai upaya medis berupa tindakan resusitasi..
Saat seseorang telah mengalami mati otak, artinya otaknya sudah tidak lagi berfungsi dan tidak akan berfungsi lagi. Organ lain seperti jantung, ginjal, atau liver dapat tetap hidup untuk waktu yang lebih lama jika ventilator masih terpasang. Perlu diingat bahwa ventilator bukan alat yang mempertahankan orang tersebut hidup jika dia sudah mengalami mati otak tetapi hanya menjaga viabilitas beberapa organ.
Keputusan mencabut ventilator sering terlihat seperti “mencabut nyawa” pasien. Namun hal tersebut tentu tidak benar pada pasien mati otak. Bukankah pasien mati otak sebenarnya sudah dinyatakan mati? Mencabut ventilator tidak akan membuat kematian menjadi lebih berat.
Mengapa Harus Otak?
Seseorang dinyatakan mati bila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau bila terbukti telah terjadi kematian otak atau batang otak. Nah, pada pasien yang telah terpasang ventilator, seringkali bukti kematian otak atau batang otaklah yang dipakai untuk menentukan kematian.
Jadi, mengapa otak? Otak merupakan organ luar biasa yang memiliki banyak fungsi pengaturan tapi yang paling penting, otak adalah pusat kesadaran. Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Kesadaran memiliki dua komponen yakni keawasan (wakefulness/arousal) dan kewaspadaan (awareness). Keawasan diatur oleh serangkaian serabut saraf khusus yang berjalan dari batang otak hingga ke otak besar yang dinamakan ascending reticular activating system (ARAS). Di lain pihak, kewaspadaan adalah hasil dari daya pikir dan afeksi. Pengaturan komponen kewaspadaan ini berada di kedua belahan otak besar.
Kesadaran akan terganggu jika terjadi gangguan pada ARAS, kedua belahan otak sekaligus, atau keduanya. Lebih jauh, apabila otak tidak berfungsi maka ia tidak akan lagi memproduksi berbagai zat yang dibutuhkan untuk pengaturan berbagai fungsi vital dan pasien akan mati.
Berbagai penyebab seperti cedera kepala berat, stroke, dan henti jantung lama dapat merusak otak. Otak adalah organ yang sensitif terhadap kekurangan oksigen (oksigen dibawa ke otak lewat aliran darah dari jantung). Saat terjadi kekurangan oksigen, otak akan menjadi tidak berfungsi dalam hitungan menit dan mati dalam hitungan jam. Otak besar umumnya lebih sensitif terhadap kekurangan oksigen daripada batang otak.
Menentukan Mati Otak
Menyatakan bahwa seseorang telah mengalami mati otak tidak mudah. Para ahli telah membahas hal ini selama bertahun-tahun untuk kemudian membuat suatu rekomendasi yang dapat diterima oleh sebagian besar praktisi medis. Tahun 1994, American Academy of Neurology mengeluarkan suatu panduan tentang cara menentukan mati otak.
Dokter yang akan menyatakan mati otak juga dihadapkan pada beban moral dan profesional yang besar. Oleh karena itu, penentuan mati otak hanya bisa dilakukan oleh dokter yang terlatih dalam melakukan pemeriksaan fungsi otak dan tidak dibuat oleh satu dokter saja. Seringkali prosedurnya juga perlu diulang atau harus menggunakan alat bantu yang canggih.
Penentuan mati otak umumnya harus menempuh empat langkah, yaitu:
- Evaluasi Klinis (Prasyarat): Di sini dokter harus menetapkan penyebab koma pada pasien dari pemeriksaan klinis dan penunjang. Pasien harus tidak dalam pengaruh obat atau zat yang menekan fungsi otak, tidak berada dalam pengaruh obat pelumpuh otot, suhu badan dibuat normal, tekanan darah dinormalkan, dan gangguan-gangguan metabolismenya telah diobati.
- Pemeriksaan Fungsi Neurologis: Pada tahap ini, dokter memastikan bahwa pasien berada pada nilai kesadaran terendah (koma), tes fungsi batang otak semuanya negatif, dan pada tes usaha nafas pasien sudah tidak ada lagi usaha untuk bernafas.
Tes fungsi batang otak .
(Netter, 2005).
- Pemeriksaan Tambahan: Pernyataan mati otak dibuat secara klinis. Namun demikian, seringkali ada ketidakpastian tentang hasil pemeriksaan neurologis atau tes usaha nafas tidak dapat dilakukan. Pada keadaan ini, pemeriksaan dapat diulang lagi atau dilakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan adalah pemeriksaan menggunakan alat bantu yang canggih seperti elektroensefalografi, somatosensory evoked potentials, angiografi otak, nuclear scan, transcranial doppler, CT angiography otak, atau MR angiography Jenis pemeriksaan mana yang akan dikerjakan tergantung pada berbagai faktor seperti kebijakan rumah sakit, kemampuan dokter, dan ketersediaan alat.
A
B
Contoh hasil salah satu pemeriksaan tambahan yaitu elektroensefalografi. Gambar A memperlihatkan adanya aktivitas otak dan Gambar B memperlihatkan tidak adanya aktivitas otak (electrocerebral silence) pada pasien mati otak.
(Kohen, 2013)
- Dokumentasi: Dokumentasi memuat nama-nama dokter yang melakukan pemeriksaan dan memberikan pernyataaan mati otak, hasil-hasil dari berbagai tes yang dikerjakan, dan waktu kematian.
Pada anak-anak, penentuan penyebab koma sangat penting untuk mengantisipasi kemungkinan keadaan koma yang masih dapat pulih. Lamanya waktu pengamatan sebelum melakukan tes mati otak pada anak didasarkan pada usia. Selain itu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan pada anak berusia kurang dari satu tahun.
Beberapa Keadaan Yang Mirip Mati Otak
Beberapa keadaan sering disalahartikan sebagai mati otak. Para dokter harus mampu membedakan keadaan-keadaan tersebut dari mati otak. Pasien dengan koma dalam berkepanjangan sering dipikirkan telah mengalami mati otak. Pasien sudah tidak berespon terhadap rangsangan dari luar. Namun demikian pasien ini masih hidup. Biasanya pasien mengalami gangguan berat pada kedua belahan otak tapi fungsi batang otak masih baik. Jantung pasien masih berdenyut dan dia masih bernafas secara spontan.
Ada suatu keadaan yang disebut status vegetatif. Pada keadaan ini, otak pasien sudah rusak berat tetapi belum mati. Batang otak pada pasien ini juga masih baik. Pasien tidak berespons terhadap rangsangan dari luar seperti rangsangan nyeri tetapi masih ada siklus tidur – bangun.
Suatu keadaan yang sangat mengenaskan juga harus dibedakan dari mati otak. Keadaan ini disebut locked-in syndrome. Pasien mengalami kerusakan pada batang otak sedemikian rupa sehingga lengan dan tungkainya lumpuh demikian juga dengan otot-otot kepala dan leher. Hanya ada sedikit gerakan bola mata. Pasien ini sadar dan mengerti akan dunia luar hanya kemampuan geraknya sangat terbatas. Kondisi ini mengingatkan saya pada nasib seorang penjahat di salah satu film Hollywood bertema spionase.
Beberapa Gerakan Yang Masih Bisa Ditemukan Pada Pasien Mati Otak
Dalam mengevaluasi pasien mati otak kita perlu benar-benar yakin bahwa fungsi batak otak sekecil apapun memang sudah tidak ada. Gerakan pupil sedikit saja harus dianggap bukti bahwa fungsi batang otak masih ada. Meskipun demikian, ada juga gerakan-gerakan tertentu yang masih bisa ditemukan pada pasien mati otak dan tidak menghalangi penegakkan diagnosis.
Gerakan-gerakan yang masih bisa ditemukan pada pasien mati otak antara lain adalah kedutan jari-jari dan gerakan ibu jari. Selain itu bisa juga ditemukan gerakan bahu dan dinding dada minimal, berkeringat, kemerahan, atau nadi yang cepat.
Apa Yang Akan Disampaikan Dokter
Kerabat pasien yang didiagnosis telah mengalami mati otak atau mati batang otak seringkali sulit menerima hal tersebut. Seperti yang disebutkan di awal tadi, pasien sudah dikatakan mati saat kerabatnya masih melihat ada nilai tekanan darah di layar monitor yang memantau kondisi pasien, badan pasien masih hangat, bahkan terkadang masih dijumpai gerakan-gerakan tertentu. Benarkah pasien sudah mati? Benarkah sudah tidak ada harapan lagi? Ataukah jangan-jangan mereka hanya ingin mengambil organnya untuk didonorkan?
Pembaca sekalian, kerabat pasien seringkali tidak dijelaskan bahwa mati otak itu ekuivalen dengan mati. Menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh Jacqueline Sullivan tahun 1999 di Rumah Sakit Universitas Thomas Jefferson, Amerika Serikat, sekitar 33 – 50% dokter dan perawat yang disurvei tidak memberikan penjelasan yang cukup kepada kerabat pasien bahwa pasien yang mengalami mati otak pada dasarnya sudah mati. Jika petugas medis tidak memberitahukan pada kerabat pasien bahwa seluruh mekanisme berpikir dan mekanisme untuk mendukung hidup pasien telah berhenti permanen maka kerabat pasien masih akan menambatkan hati pada harapan bahwa orang yang mereka cintai akan pulih.
Jantung mungkin tetap berdetak atau pasien tetap dipasangkan ventilator (yang seringkali secara tidak akurat disebut “pendukung hidup”) untuk mempertahankan viabilitas beberapa organ tetapi suatu saat organ-organ inipun akan mati karena otak tidak lagi berfungsi. Saat itu bisa datang cepat atau lambat. Keluarga akan dihadapkan pada beban mental dan juga finansial yang semakin berat dalam periode itu.
Sekarang marilah kita membahas tentang pemulihan kembali pada mati otak. Sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa pasien yang telah dinyatakan mati otak akan pulih kembali. Mati otak bukanlah seperti keadaan koma yang masih bisa pulih pada sebagian kasus. Apa yang terlihat di film-film tidak secara akurat menggambarkan mati otak. Secara medis, mati otak adalah keadaan permanen. Hanya saja apakah vonisnya sudah didasarkan pada prosedur terstandar?
Dengan demikian, dokter perlu menyampaikan secara jelas dengan disertai bukti medis yang kuat bahwa pasien telah mengalami mati otak. Mati otak adalah kondisi yang ekuivalen dengan mati karena otak sudah tidak mungkin pulih lagi. Organ-organ lain akan menyusul mengalami kerusakan dan akhirnya mati dalam waktu yang berbeda-beda.
Mati Otak dan Donor Organ
Di negara-negara maju, banyak penduduk yang membuat pernyataan bahwa mereka bersedia mendonorkan organ tubuhnya setelah mati. Beberapa negara bahkan mencantumkan informasi ini pada kartu identitas warga.
Selain itu, pasien yang telah mengalami mati otak sering dipikirkan untuk menjadi kandidat donor organ. Donor organ dapat memberi kesempatan ke dua bagi orang lain yang sakit berat dan membutuhkan organ dari pendonor yang cocok. Hal ini misalnya kita temukan pada penyakit jantung, liver, ginjal, dan kornea mata. Sayang, masalah pendonor organ seringkali membuat kerabat pasien berpikiran negatif bahwa pasien dinyatakan mati otak untuk diambil organnya.
Hal tersebut sebenarnya telah diatur. Tim yang merawat pasien benar-benar berbeda dan tidak saling berhubungan dengan tim transplan. Identitas pendonor juga dirahasiakan bahkan kesediaannya menjadi pendonor juga saat ini tidak dibuka.
Donor organ di negara kita memang masih dalam tahap pengembangan tetapi pemerintah sedang menyiapkan regulasi yang menjamin keamanan dan hak pendonor. Menyumbangkan organ tubuhnya untuk kemanusiaan adalah perbuatan luhur tetapi regulasinya tetap harus dibuat sehingga tidak menjadi ajang mencari keuntungan pribadi segelintir orang.