Manado – Mahal atau murahnya biaya politik di Indonesia, itu relatif, tergantung kapasitas dan modal sosial yang dimiliki calon. Kalau caleg sudah dikenal dan memiliki track record yang baik, bisa saja cost politiknya menjadi murah. Biaya menjadi mahal karena untuk bersosialisasi pada masyarakat agar dikenal.
Khusus untuk Sulut, lanjut ML Denny Tewu, calon DPD RI 2019-2024 dapil Sulut nomor urut 34 ini, biaya politik menjadi mahal sudah seperti budaya. Dari dulu saat pemilihan kepala desa umumnya para calon perlu mempersiapkan anggaran untuk memberi makan dan bersosialisasi kepada masyarakat.
“Hal ini jadi terbawa pada pemilihan caleg hingga pilkada, walaupun sudah ada beberapa perubahan dimana bagi calon-calon tertentu masyarakatlah yang secara swadaya membantu mensosialisasikan dan mendukung secara sukarela,” sambung Ketua Umum Rukun Keluarga Besar Tewu/Tewuh.
Denny melihat, hampir semua negara demokrasi umumnya ada saja pejabatnya yang terlibat korupsi atau menyalahgunakan kewenangannya. Korupsi itu terjadi karena sistem pengawasan yang kurang baik dan moral yang jelek dari para pejabat tersebut.
Penyelenggaran Pemilu yang digabung seperti yang akan berlangsung April nanti, dinilai mantan Ketua umum PDS ini, banyak mengefisiensikan pengeluaran negara. “Bantuan negara melalui KPU tentu megurangi cost politik parpol maupun caleg-caleg, hal ini sesuai UU Pemilu terbaru dan PKPU berdasar undang-undang tersebut,” jelas dia.
Politik uang, dalam pandangan Denny pun presentasinya semakin kecil karena semakin dewasa kita berdemokrasi maka ke depan masyarakat lebih sadar bahwa suaranya untuk calon wakil rakyat yang sesuai kriteria yang diharapkan.
Dia akui juga, Indonesia termasuk masih muda berdemokrasi dengan kedaulatan rakyat sepenuhnya, jadi masih harus terus disosialisasikan fungsi dari penyelenggara negara. red