Berita TerbaruBerita UtamaPolitikSulawesi Utara

Pemimpin Berintegritas Diawali dari Perekrutan oleh Parpol, Calon Mantan Koruptor?

×

Pemimpin Berintegritas Diawali dari Perekrutan oleh Parpol, Calon Mantan Koruptor?

Sebarkan artikel ini
Ferry Daud Liando bersama Dewan Pengawas KPK RI Prof Dr. Syamsudin Haris

Manado – Banyak figur telah mengambil ancang-ancang tampil pada suksesi Pemilu dan Pilkada 2024 tak terkecuali di Provinsi Sulawesi Utara.

Dosen Kepemiluan, Ferry Daud Liando, mengungkapkan meskipun harus menelan anggaran ratusan miliar, namun pelaksanaan Pilkada di daerah kerap belum melahirkan pemimpin yang baik. Buktinya telah banyak kepala daerah yang terbukti korupsi.

MANTOS MANTOS

Modus korupsi yang sering dilakukan pertama, menarik uang bagi calon-calon pejabat yang hendak dipromosikan.

“Tindakan ini dicontohi pejabat-pejabat (yang awalnya sebagai korban) untuk melakukan hal yang sama terhadap masyarakat,” jelas Ferry Liando kepada wartawan Manadonews.co.id di Manado, Sabtu (7/5/2022).

Hal negatif yang diterima masyarakat adalah kualitas pelayan publik yang buruk karena pejabat yang diangkat bukan karena kapasitas dan pengalaman kepemimpin (merit system), tapi karena uang setoran.

“Kedua, memudahkan proses perizinan usaha tanpa kajian ilmiah. Hal buruk yang kerap diterima publik adalah ancaman bencana alam akibat eksplorasi dan eksploitasi SDA di sekitarnya,” kata Liando.

Ketiga, pemotongan anggaran proyek fisik. Hal buruk yang diterima publik adalah fasilitas publik yang tidak memadai. Jalan, bagunan, peralatan, jembatan rusak parah sebelum dioperasionalkan.

Baca Juga:  Kapolres Sangihe Pimpin Sertijab Sejumlah Pejabat, Tanda Penyegaran Organisasi Polri

“Keempat, penggelapan atau pemotongan bantuan sosial (Bansos). Hal buruk yang diterima publik adalah beralihnya bantuan yang harusnya menjadi hak orang-orang miskin. Putus sekolah bertambah dan pelayanan kesehatan yang tidak maksimal. Semua uang yang dikorupsi itu sesungguhnya hak milik rakyat,” tukas dia lagi.

Ferry Liando menyebutkan 4 penyebab hal itu terjadi.

Pertama, proses rekrutmen dan kaderisasi Parpol sangat buruk. Proses buruk ini menyebabkan calon yang diusung tidak dibekali dengan akhlak moral yang baik.

“Sebagian calon bukan hasil binaan atau didikan Parpol. Mereka datang dari luar walaupun tidak jelas keberadaannya. Kebanyakan Parpol hanya tergiur dengan uang mahar dari calon,” tandas Liando.

Kedua, biaya politik calon untuk ikut Pilkada sangat mahal. Mulai dari beli logistik untuk manipulasi pencitraan, sewa lembaga survei, bayar Parpol atau mahar, biaya suap atau sogok pemilih agar mendapatkan suara.

“Ketiga, sistem penegakan hukum yang lemah. Koruptor oleh undang-undang masih diizinkan untuk jadi calon kepala daerah,” tutur Ferry Liando.

Baca Juga:  Paus Leo XIV Kanonisasi Dua Santo

Mahkamah Konstitusi (MK), pernah membuat putusan bahwa mantan narapidana yang dilarang mencalonkan diri pada Pilkada adalah hanya mereka yang belum sampai lima tahun keluar dari penjara.

Di luar itu, eks napi, termasuk eks napi koruptor, tetap dibolehkan menjadi calon kepala daerah. Walaupun demikian, jika saja Parpol punya visi bernegara yang baik, maka tidak mungkin baginya untuk mencalonkan sesorang yang pernah cacat hukum sebelumnya.

“Keempat, sistem pengawasan dan komitemen aktor-aktor di DPRD sangatlah lemah. Dalam banyak kasus, korupsi kepala daerah ternyata melibatkan juga oknum anggota DPRD. Ada bagian yang dinikmati secara bersama-sama atas kejahatan itu,” jelas akademisi Unsrat ini.

Pilkada tak sekedar hanya untuk memilih, tetapi arena untuk menyeleksi ataupun memvonis politisi yang berpotensi melakukan kejahatan.

“Tidak memilih politisi yang pernah bermasalah dengan hukum merupakan bentuk pendidikan politik yang baik. Perlu pengadilan politik masyarakat untuk tidak lagi memilih politisi yang tidak amanah,” pungkas Ferry Liando.

(JerryPalohoon)

Yuk! baca berita menarik lainnya dari MANADO NEWS di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP