Bitung, Manadonews.co.id – Laporan dugaan penyerobotan tanah milik Herman Loloh pada 20 mei 2023 oleh perusahaan tambang PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) telah berlangsung hampir dua tahun.
Namun hingga kini, proses penanganan yang dilakukan Polresta Bitung belum menunjukkan titik terang. Keluarga korban merasa penegakan hukum berjalan lambat dan tidak berpihak.
Sejumlah upaya telah dilakukan oleh keluarga bersama kuasa Herman Loloh. Mereka telah berulang kali mempertanyakan progres penyidikan kepada aparat kepolisian setempat, mulai dari penyidik, KBO, hingga Kapolres.
Tak berhenti di situ, surat pengaduan pun dikirim ke Kapolda Sulawesi Utara 19 september 2024, dan pertemuan khusus sempat dilakukan dengan Wakapolda Sulut, Brigjen Pol Bahagia Dachi, pada 5 November 2024.
Dalam pertemuan itu, Wakapolda menegaskan bahwa kasus ini harus diselesaikan segera dan setiap perkembangan wajib dilaporkan langsung kepadanya. Namun, janji tersebut belum membawa kejelasan.
“Perhatian Wakapolda kami hargai, tetapi hingga hari ini laporan itu seperti jalan di tempat. Tidak ada kepastian hukum yang diterima oleh keluarga Herman Loloh,” kata Robby Supit, aktivis sosial Kota Bitung yang ikut mengawal kasus ini.
Menurut Robby, penanganan kasus semakin membingungkan karena penyidik justru mengalihkan fokus dari perusahaan tambang sebagai terlapor utama, kepada individu bernama Devie Ondang.
Devie diketahui memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang terbit tahun 1989 saat ia masih berusia 13 tahun, hanya berdasarkan surat keterangan Lurah. Penyidik juga mendorong pelapor untuk membuat laporan baru terkait dugaan penggelapan dokumen oleh Lurah dan Camat, yang bukan pelaku penyerobotan.
Kantor Pertanahan Kota Bitung turut disorot. Lembaga ini diduga mengesahkan sertifikat yang cacat hukum, membuat berita acara pengukuran ulang tanpa prosedur sah, dan menerbitkan beberapa surat yang isinya saling bertentangan.
Hal ini menyebabkan tanah keluarga Loloh terlibat tumpang tindih kepemilikan.
Neltje Loloh, anak dari Herman Loloh yang telah lanjut usia, menjadi korban utama dalam sengketa ini.
“Beliau seharusnya menikmati masa tua dari hasil tanahnya sendiri, bukan menghadapi ketidakadilan bertahun-tahun,” ujar Robby.
Dari perspektif hukum, Robby Supit, menyebut ada indikasi kuat penyimpangan dalam penanganan perkara ini.
“Dalam hukum pertanahan, jika sertifikat terbit berdasarkan data yang tidak sah atau palsu, maka ada unsur pidana. Ini harusnya menjadi fokus utama penyidikan, bukan dialihkan ke laporan-laporan lain,” tegas Robby.
Ia menambahkan, pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah sudah sangat jelas mengatur ancaman pidana bagi pihak yang menguasai tanah orang lain tanpa hak. Jika pelaku adalah korporasi, tanggung jawab pidana bisa dijerat kepada pengurusnya. Ini bukan hanya soal administratif, tapi soal keadilan.
“Melihat ketidakjelasan arah penyelesaian, saya berharap Gubernur Sulawesi Utara, Bapak Yulius Selvianus, memberikan perhatian terhadap derita rakyat kecil dalam kasus ini. Mereka mendesak adanya evaluasi terhadap kinerja aparat kepolisian dan BPN Kota Bitung,” ujar Robby.
Robby supit berharap jika ada mafia tanah atau oknum yang bermain, maka harus diselidiki dan ditindak jika terbukti,sebab menurut Robby Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah.
(VM)