Bencana alam yang kembali menghantam Sumatera bukanlah sekadar rangkaian peristiwa “alamiah” yang terjadi tanpa sebab.
Ia adalah cermin retak dari kerakusan manusia kerakusan yang selama puluhan tahun diberi ruang, dilegitimasi oleh kebijakan, dan dipoles dengan narasi pembangunan.
Setiap longsor, banjir bandang, dan hilangnya nyawa bukan hanya akibat curah hujan ekstrem, tetapi hasil akumulasi dari eksploitasi yang terus-menerus ditanam di tanah yang semakin kehilangan daya tahannya.
Bencana di Sumatera hari ini adalah “nota tagihan” dari alam, dan manusia di pucuk piramida ekonomi Indonesia adalah para kreditur moral yang paling bertanggung jawab.
Ketika Bencana Menjadi Produk Kapitalisme Ekstraktif
Indonesia dikenal sebagai negeri kaya sumber daya. Namun kekayaan itu bukan dinikmati rakyatnya, melainkan dikeruk untuk kepentingan segelintir elite ekonomi yang membangun pundi-pundi lewat perkebunan raksasa, tambang terbuka, pembalakan, hingga proyek-proyek yang menghabiskan bentang alam.
Jika di daftar orang terkaya dunia versi Forbes, posisi teratas diraih para inovator teknologi dan pengusaha asuransi, maka di Indonesia—kondisinya menyedihkan—elite terkaya justru didominasi oleh para pelaku industri yang berakar pada eksploitasi lingkungan. Kekayaan mereka bertambah setiap tahun, seiring menyusutnya hutan, menurunnya kualitas tanah, dan meningkatnya risiko bencana ekologis.
Inilah ironi pembangunan Indonesia: kita memuji kesuksesan para taipan tanpa berani menghitung biaya ekologis yang ditanggung jutaan rakyat kecil.
Ketika Hutan Pergi, Banjir Datang
Sumatera telah kehilangan sebagian besar tutupan hutannya dalam dua dekade terakhir. Hutan yang dulu menjadi penyangga kehidupan telah digantikan oleh blok-blok monokultur, tambang terbuka, hingga pemukiman yang dibangun tanpa memikirkan daya tampung lingkungan.
Maka bencana bukan lagi pertanyaan jika, melainkan kapan.
Banjir bandang di wilayah barat Sumatera, longsor di lereng-lereng yang dulu hijau, hingga kabut asap yang menyesakkan setiap musim kemarau, semuanya merupakan manifestasi dari hilangnya kemampuan alam untuk menyerap tekanan.
Masyarakat yang Jadi Korban, Elite yang Tetap Aman
Setiap kali bencana terjadi, yang paling terdampak adalah masyarakat kecil: petani, nelayan, pekerja sektor informal, dan warga yang hidup di daerah rawan.
Rumah mereka hanyut, ladang mereka rusak, keluarga mereka kehilangan masa depan. Sementara itu, para pemilik modal yang menikmati keuntungan dari eksploitasi lahan tetap hidup nyaman jauh dari lokasi bencana.
Lebih menyakitkan lagi, beberapa politisi yang sejatinya terikat dengan kepentingan modal justru tampil menebar citra setiap kali bencana terjadi.
Bantuan simbolis digelontorkan, foto dipajang, publikasi digencarkan seolah mereka pahlawan di tengah reruntuhan. Padahal, sebagian kebijakan yang mereka dukunglah yang membuka jalan bagi kehancuran ekologis itu sendiri.
Kita Butuh Paradigma Baru: Kekayaan yang Tidak Merusak
Revolusi ekonomi global seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia. Dunia bergerak menuju inovasi teknologi, ekonomi hijau, energi terbarukan, dan bisnis yang mengedepankan keberlanjutan.
Namun Indonesia masih merayakan para pengumpul kekayaan dari pohon yang ditebang, tanah yang digali, dan sungai yang tercemar. Selama negara tidak mengubah paradigma pembangunan, bencana akan selalu mengintai.
Kekayaan tidak harus dibangun dari kehancuran. Pembangunan tidak harus mengorbankan lingkungan. Dan kemajuan bukan berarti mengeruk alam hingga habis.
Bencana di Sumatera adalah Peringatan, Bukan Kebetulan
Bencana ini bukan angin lalu. Ini adalah alarm keras bahwa Indonesia harus menghentikan model ekonomi ekstraktif yang selama puluhan tahun dijadikan tulang punggung.
Selama orang terkaya Indonesia adalah mereka yang mengeksploitasi alam, dan selama kekuasaan politik tetap menjadi pelayan modal, maka Sumatera dan seluruh Indonesia akan terus menjadi korban.
Alam telah memberi peringatan. Pertanyaannya: apakah kita akan mendengarkan sebelum semuanya terlambat?












