Manado – Pemerintah secara resmi memutuskan tidak akan menunda pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020.
Sikap itu disampaikan langsung Menkopolkumham Mahfud MD kemarin.
Sebelumnya, sejumlah lembaga negara seperti MPR, DPD dan Komnas HAM, memintah agar pelaksanaan Pilkada ditinjau kembali.
Sekitar 300 ribu orang telah menandatangani persetujuan penundaan. Pertimbangannya, angka pasien Covid-19 terus bertambah dan tak terkontrolnya massa pendukung pasangan calon saat pendaftaran.
Penggunaan masker, jaga jarak dan kerumunan masyarakat sama sekali tak terkendali. Ada kekuatiran bahwa kondisi demikian masih akan terjadi lagi pada tahapan selanjutnya seperti kampanye dan pemungutan suara.
Ferry Daud Liando dari Konsorsium Pendidikan Tata Kelola Pemilu, mengungkapkan bahwa Pilkada 2020 akan menjadi persoalan baru terutama terkait partisipasi masyarakat. Ini akan menjadi dilema besar.
Sebab, di satu sisi peran masyarakat dalam setiap tahapan sangat diperlukan, namun di sisi lain ruang gerak mereka dibatasi,” jelas Ferry Liando kepada wartawan Manadonews.co.id di Manado, Rabu (26/9/2020).
Partisipasi masyarakat tak hanya dibutuhkan dalam momentum pencoblosan, akan tetapi dibutuhkan dalam setiap tahapan termasuk memastikan apakah dalam setiap tahapan memiliki kualitas yang baik.
Tanpa peran masyarakat maka dikuatirkan ada hal-hal yang terlewati atau terabaikan. Meminta masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses Pilkada pun sepertinya sulit diharapkan.
“Sebab, mereka juga harus patuh pada anjuran pemerintah untuk menjaga dan mentaati protokol kesehatan. Entah apa yang akan terjadi pada hasil Pilkada nanti. Padahal, partisipasi masyarakat selalu menjadi ukuran dalam mengukur legitimasi,” tukas Liando.
Dari aspek kuantitatif, ditambahkan Dosen Ilmu Politik Unsrat Manado ini, KPU menargetkan partisipasi pemilih sebanyak 77,5 persen. Untuk memenuhi target ini, KPU harus bekerja keras.
“Sebab, mengajak masyarakat di tengah ancaman Covid-19 tidaklah mudah. Apalagi yang ditargetkan adalah partisipasi pemilih rasional,” tutur Ferry Liando.
Pengalaman di Pemilu maupun Pilkada, prosentase kehadiran pemilih rasional sangatlah minim. Mayoritas pemilih mendatangi TPS dipicu uang suap dari calon.
Karena hadiah yang diterimanya sebelum pencoblosan menjadi motivasi untuk datang memilih. Itulah sebabnya angka partisipasi secara kuantitatif memenuhi target yang ditetapkan sebelumnya.
“Sehingga, untuk mengukur Pilkada berkualitas tidak hanya diukur dari jumlah partisipan pada saat pencoblosan, akan tetapi ditentukan pula oleh akses yang mudah bagi masyarakat untuk berpartipasi dalam setiap tahapan agar dapat dipastikan Pilkada berproses secara jujur dan adil,” pungkas Ferry Liando. (YerryPalohoon)