Jakarta – Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, berpendapat jika dilihat dari segi hukum revisi UU ITE tersebut sebenarnya ingin memadukan, menemukan, mengintegrasikan citra hukum dengan keadilan, sebagaimana pernah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo.
Hal tersebut dikatakan Asep Warlan Yusuf pada webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Rabu (10/3/2021).
“Jadi kalau ini ada masalah soal keadilan maka di hulunya yang kita perbaiki,” tutur Asep.
Setelah itu, langkah selanjutnya yang mesti dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika yakni memastikan soal kepastian hukum.
Di sisi masyarakat, revisi atau perubahan tersebut harus ada manfaatnya. Ia pribadi cenderung mendorong DPR menginisiasi revisi UU ITE mengingat lembaga ini mewakili rakyat.
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, setuju agar UU ITE segera direvisi. Namun hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah, termasuk DPR.
Sukamta berpendapat, maraknya pelaporan ke polisi atas pelanggaran UU ITE, justru mengancam kebebasan pers yang selama ini sudah berjalan benar.
“Mengutip data pemidanaan terhadap jurnalis atau media pada 2018 dan 2019 ini menjadi yang tertinggi, banyak pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE ini, jelas saya kira menjadi kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers di dalam UU No 40/99 Tentang Pers,” tutur Sukamta.
Founder Media Kernel, Ismail Fahmi, melihat pro revisi UU ITE sangat besar. Di sini menurut dia, peran utama media massa untuk membangun percakapan publik yang benar.
Dr. Ismail Fahmi, Ph. D, yang merupakan pakar IT menjelaskan bahwa selama ini berbagai laporan dikelompokkan ke berbagai profesi, diantaranya profesi yg dilaporkan, 37,5 persen terlapor 69 adalah kelompok kritis seperti Jurnalis/Media (19), Aktivis (24), Dosen/Guru (19) dan buruh (7). Kemudian 56 persen lainnya, yang menjadi terlapor sebanyak 103 berstatus warga biasa.
“Sementara itu profesi yang melaporkan terdiri dari 68 persen, pelapor orang yang memiliki kekuasaan terdiri dari 42 persen merupakan pejabat publik, 22 persen kalangan profesi dan 4 persennya kalangan yang berpunya. Sedangkan yang 23 persennya, pelapor berstatus sebagai warga biasa,” jelas Ismali Fahmi.
Webinar yang mendapat perhatian dari berbagai kalangan profesi ini dimoderatori oleh Wina Armada dan dibuka oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari, juga dihadiri oleh Sekjen PWI Pusat, Mirza Zulhadi, Wakil Sekjen Suprapto Sastro Atmojo dan Wakil Bendahara PWI Pusat, Dar Edi Yoga.
(JerryPalohoon)