Oleh: Iverdixon Tinungki
KAUM perempuan memilih perempuan sebagai calon Bupati adalah fenomena baru di Sangihe. Selain membanggakan, fakta tersebut ikut menampar perangai politik yang bias gender dan patriarki.
Data termutakhir sebuah survei menyatakan 60 persen lebih pemilih perempuan di kepulauan itu menyatakan akan memilih pasangan Tamuntuan-Seliang dalam Pilkada 2024.
Dalam survei yang dilakukan sebuah perguruan tinggi negeri di Sulut itu di sebutkan dr. Rinny Tamuntuan-Mario Seliang, SE., sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati Sangihe meraih tingkat elektabilitas teratas dengan dukungan luas.
“Namun hal yang paling mencengangkan adalah data tingkat preferensi pemilih perempuan di Sangihe cenderung memilih Tamuntuan sebagai representasi mereka,” kata Agus Hari.
Meresepsi data yang di sampaikan Litbang Tim Pemenangan pasangan Tamang (Tamuntuan-Seliang) ini menjadi menarik bila di ikwali sebuah pertanyaan: “Mengapa kaum perempuan harus memilih calon bupati dari kalangan perempuan?”
Menjawab pertanyaan menarik ini, saya perlu mengutip pernyataan Kanti W. Janis, S.H., LL.M dalam buku berjudul “Perempuan Politik Bergerak” terbitan ATSA, 2023.
Sosok intelektual terkemuka Indonesia dari Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) itu mengatakan, sebagai pihak yang paling mengetahui kebutuhan, permasalahan, dan solusi dari isu-isu yang di hadapi oleh kaumnya sendiri, pelibatan perempuan dalam ruang politik, yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan menjadi sangat penting.
“Partisipasi perempuan di ranah politik nyatanya sangat mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan di Indonesia yang selama ini masih di golongkan sebagai kelompok rentan,” tulis dia dalam pengantar buku tersebut.
Sederhananya, bila paparan data survei terbaru di Sangihe itu benar, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa ada fenomena baru di rana politik electoral di kabupaten kepulauan itu.
Sepanjang ini, sejarah kepemimpinan di Sangihe sangat patriarki atau selalu di kuasai kaum lekaki. Maka fenomena kebangkitan semangat kaum perempuan memilih perempuan dalam politik elektoral merupakan sebuah kemajuan dalam menyudahi paham politik yang masih di selimuti bias gender yang begitu kental.
Kepeloporan perempuan Sangihe dalam menangkal pandangan keliru yang menempatkan kerja perempuan di ranah domestik dan laki-laki di ranah publik ini nampak sebagai suatu kemajuan demokrasi.
Sejauh ini, politik di maknai sebagai kegiatan di ranah publik, dan karenanya politik adalah domain laki-laki. Sebaliknya, ranah domestik di maknai tidak memiliki di mensi politik, dan karenanya adalah domain perempuan.
Maka mencermati tampilan data termutakhir hasil survei di atas telah memberikan perspektif berbeda tentang anggapan kurangnya partisipasi perempuan di dalam politik.
Dalam “Women in Parliament: Beyond Numbers” sebuah buku terbitan International IDEA, 1998 yang menganalisis masalah gender serta partisipasi perempuan dalam pembangunan dan politik di 174 negara dunia menyebutkan persoalan patriarki tak saja sebagai pergumulan sekelompok umat manusia di sebuah belahan dunia, tapi merupakan masalah penting umat manusia secara keseluruhan.
Terkait pandangan politik berbau patriarki yang suram itu, juga dalam “Against Our Will: Men Women and Rape” Susan Brownmiller melontarkan kritik tajam bahwa dari masa prasejarah hingga sekarang, politik yang di kuasai kaum lelaki telah memainkan fungsi yang kritikal. Ini tidak lebih dari proses intimidasi secara sadar, di mana semua laki-laki membuat semua perempuan dalam keadaan ketakutan.
Bahkan dalam pandangan feminisme radikal, kejahatan adalah sesuatu yang berakar dan bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya patriarki. Sebuah budaya yang menganggap laki-laki lebih utama sementara perempuan berada pada posisi subordinat.
Perempuan dan anak di dalam keluarga, di lihat sekadar properti bagi laki-laki, tidak ubahnya kepemilikan terhadap harta benda.
Saat kehidupan perempuan masih terjebak di ruang privat dan domestik sebagaimana perspektif patriarki, maka isu gender tetap menjadi persoalan penting dan aktual dalam peradaban umat manusia.
Dan selebihnya bagi saya, bacaan terhadap hasil survei terbaru di Sangihe yang mencatat lebih dari 60 persen kaum perempuan akan memilih perempuan dalam Pilkada 2024 tak saja merupakan sebuah peristiwa dimokrasi di ajang politik elektoral, tapi sebuah perayaan terhadap sesuatu yang penting dalam kehidupan umat manusia yaitu Hak Asasi Manusia. (*)