Manado, MN – Komisi III DPR mewacanakan tambahan pasal pengawasan dalam revisi UU Terorisme. Pasalnya, implementasi UU Terorisme yang ada seringkali melampaui aturan yang berlaku sehingga sangat membahayakan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Pengawasan di sini tidak dimaksudkan menambah birokrasi dan pembiayaan melainkan dimasukkan dalam desk Komisi III berupa Tim Pengawasan, yang bisa didelegasikan kepada Komnas HAM atau Kemenkumham,” ujar Arsul Sani, anggota Komisi III DPR, dalam diskusi bertema sama di Media Center DPR Senayan, Jakarta, Rabu (15/3).
Bagi Arsul Sani, perluasan kewenangan Polri dalam usulan revisi UU 15/2003 itu berupa pengaturan perbuatan perencanaan seharusnya dibarengi pengawasan demi menghindari perbuatan melampaui aturan. Alasannya, UU itu tidak mengatur sanksi bagi petugas penanganan teroris seperti pemaksaan pengakuan terduga, kelalaian penyidik, hingga penyebab kematian.
Parahnya lagi, sambung pakar pidana Muzakir, kealpaan dijadikan dasar dugaan terorisme kendati hal itu tidak ada dalam delik-delik hukum negara manapun termasuk Amerika Serikat sebagai negara adidaya.
“Apalagi saya melihat hanya dua pasal yaitu ke-6 dan ke-7 terkait teroris, sedangkan semuanya sudah ada dalam KUHP termasuk klausul penerbangan,” ujarnya.
Bahayanya, ia mencontohkan, ketika insiden cekcok mulut pasca-senggolan dalam pesawat dimasukkan kategori teroris.
“Juga ketika seorang suami menelepon ada bom dalam pesawat yang akan ditumpangi istrinya. Padahal niatan hanya tidak ingin sang istri ketinggalan pesawat.”
Hal-hal seperti itu pula, lanjut Trisno Raharjo selaku anggota Tim 13 Komnas HAM, yang kerap terjadi di lapangan.
“Kami juga menerima pengakuan bersumpah dari korban-korban itu,” ujarnya didampingi Mashuri Masyhuda dari Forum Peduli Penanggulangan Teroris (FPPT). (Djamzu)