Bandung, Manadonews.co.id – Salah satu buah reformasi adalah kebijakan Otonomi Daerah (Otda). Kebijakan ini mulai diberlakukan melalui UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan.
Demikian uraian Dr. Ferry Daud Liando, S.IP, M.SI dari Konsorsium Pendidikan Tata Kelola Pemilu, ketika menjadi pembicara pada seminar nasional Kesatuan Program Studi Ilmu Pemerintahan Indonesia (KAPSIPI) di Bandung, Jawa Barat, 24 November 2021, dengan topik “Format Pemerintahan Pasca Pilkada”.
“Pada prinsipnya kebijakan ini bermaksud mendorong agar aktor-aktor di daerah mampu dan mandiri mengelola daerahnya sendiri. Tak hanya kewenangan pemerintah yang sebagian besar telah didelegasikan kepada pemerintah daerah,” jelas Ferry Liando.
Kebijakan Otda telah menempatkan posisi masyarakat yang awalnya hanya sebagai objek namun berubah menjadi subjek pembangunan.
Visi besar dari kebijakan ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik agar menjadi lebih mudah, berkualitas dan adil. Namun demikian sejak diberlakukannya pada 22 tahun lalu, hambatan dalam impelementasinya tidaklah mudah.
“Visi besar yang harusnya sudah bisa dinikmati, namun masyarakat belum bisa merasakan apa-apa. Baik UU maupun pedoman teknis belum linier sebagai panduan mencapai tujuan. Aturan tidak diciptakan sebagai instrumen memandu pencapaian tujuan, tetapi kebanyakan dirancang untuk dimanfaatkan oleh kekuatan tertentu baik oleh kekuatan politik atupun kekuatan ekonomi,” tukas Liando.
Kebijakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sesungguhnya merupakan salah satu instrumen agar cita-cita Otda bisa dipenuhi. Idealnya pemimpin di suatau daerah adalah figur yang mengenal persis daerahnya dan dipilih oleh rakyat secara langsung. Agar keeratan emosional antara rakyat dan pemimpinya dapat dibangun.
Oleh karena itu Pilkada yang awalnya dilakukan DPRD namun berubah mekanisme pemilihannya yaitu dilakukan secara langsung oleh masyarakat.
Namun apakah Pilkada sebagai salah satu sarana pencapaian cita-cita Otda telah terwujud?
“Tingginya angka korupsi oleh Kepala Daerah, buruknya kualitas pelayanan publik dan kerusakan lingkungan akibat exploitasi sumber daya alam menjadi indikator bahwa cita-cita itu masih mengawang-awang,” tegasnya.
Kebijakan Otda ini baru baru dinikmati oleh segelintir politisi ataupun oknum pengusaha. Proses kaderisasi politik yang buruk oleh Partai politik (parpol) menjadi surga bagi pemilik modal. Mereka berusaha memodali biaya pencalonan mulai dari beli tiket parpol (candidate buying) ataupun kampanye calon (Vote buying) dengan kompensasi penguasaan SDA di suatu daerah jika terpilih.
Menjelang Pilkada, sebagian Kepala Daerah mengobral perizinan usaha kepada pengusaha agar mendapat biaya tambahan untuk kampanye. Sebagian Terciduk KPK, namun sebagian lolos karena permainannya licin dan licik. Itulah sebabnya ketika musim hujan besar tiba, banyak penduduk tewas terseret banjir dan longsor akibat rusaknya lingkungan sekitar.
Kepala daerah yang terpilih dengan proses instan seperti ini berefek buruk pada kualitas pelayanan publik sebagaiaman cita-cita Otda. Sebagian pejabat yang diangkat diwajibkan harus dengan uang setoran. Semakin “basah”, jabatan, maka setoran makin tinggi. Bisa saja tidak harus dengan setoran tetapi pejabat yang hendak dipromosi harus punya jasa saat kampanye Pilkada.
“Meski aparaturnya profesional, punya pengalaman pemerintahaan, kepangkatan dan sistim meritnya jelas, namun jika tidak punya kontribusi saat kampanye maka jangan berharap untuk mendapatkan apa-apa. Ada juga pejabat titipan dari oknum DPRD sebagai kompensasi atas Persetujuan Perda yang disinyalir sebagai Perda pesanan,” kata Liando lagi.
Model rekrutmen semacam ini menjadi benalu bagi proses pelayanan publik. Pejabat tidak berlagak sebagai pelayan, namun selalu mencari untung dalam setiap kesempatan.
Mulai dari Markup dan Markdown anggaran, laporan fiktif, manipulasi bansos maupun memperbanyak kegiatan lapangan untuk fasilitas SPPD. Pejabat yang diangkat karena uang setoran dan atau karena jasanya saat kampanye tentu bukanlah provider yang profesional.
Mitra sejajar Pemda yakni DPRD, sebagian besar masih menunjukan keadaan yang sama. Para anggotanya belum banyak dihuni oleh wakil rakyat yang mumpuni. Ada yang terpilih karena mengandalakan kekuatan uang juga karena pengaruh hubungan kekerbatan dengan penguasa di daerah.
“Lihat saja profil anggota DPRD hasil Pemilu 2019. Mulai dari isteri, suami, kakak, adik, ipar, mertua, dan keponakan Kepala Daerah dengan mudah memasuki lembaga itu,” tuturnya.
Power yang dimiliki Kepala Daerah sangatlah gampang mengutus keluarganya. Aparat dan pejabat dimobilisasi sebagai mesin pengumpul suara. Jika target tak dipenuhi dalam satu dapil, maka jabatan akan jadi taruhan. Jabatan Kepala Desa diisi dengan pelaksana tugas agar dengan mudah untuk dikendalikan.
“Memang hak bagi semua orang untuk setiap jabatan politik. Namun apakah semuanya memiliki bekal dasar sebagai wakil rakyat. Untuk menata kebijakan Otda tak sekedar memperbaiki aturan-aturan sesering mungkin atau memperbanyak aliran uang yang ditransfer ke daerah,” tambah Liando.
Masalah terberat dari kebijakan Otda saat ini adalah perilaku aktor baik parpol, politisi, Birokrasi maupun masyarkatnya. Fungsi utama parpol adalah mempersiapkan calon pemimpin jauh sebelum Pilkada dimulai. Berilah kesempatan kepada figur-figur yang mapan, berakhlak dan diyakini mampu menjadi seorang pemimpin yang berwibawa.
Tindakan memperjualbelikan parpol kepada yang tidak pantas, bukan hanya menggagalkan cita-cita Otda tetapi sebagai bentuk penghianatan terhadap publik. Parpol bisa mengusung calon kepala daerah pada Pilkada karena dukungan suara masyarakat ketika memilih saat pemilu tahun 2019 lalu.
“Tak hanya parpol, tanggung jawab ini penting juga dijaga oleh kesadaran dan kedewasaan masyarakat. Kebijakan Pilkada yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat tak hanya dalam rangka mewujudkan cita-cita konstitusional bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat,” tandas Liando.
Namun yang terpenting adalah rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan pemimpin berdarkan selerahnya sendiri. Tapi kebebasan itu harus disertai dengan tanggungjawab moril. Memilih calon tertentu karena faktor uang atau hadiah hanya akan menjerumuskan pada kenikmatan sesaat dan hanya dinikmati sendiri.
Politisi yang terbiasa menyuap atau menyogok pemilih merupakan ukuran moralitas yang buruk. Kepemimpinnya tidak bisa melahirkan apa-apa. Uang yang dibagi-bagikannya saat menyuap pemilih di Pilkada akan diusahakan agar bisa kembali berkali-kali lipat hingga kekayaannya tidak akan ludes dalam tujuh turunan, terkecuali terhadang KPK.
Semua rancangan kebijakan yang dibuat selalu diuukur dengan keuntungan apa yang diperolehnya. Lihat saja banyak bagunan belum juga di operasionalkan, tapi bagian-bagian tertentu telah rusak. Proyek fisik seperti jalan atau jembatan rusak parah padahal papan proyek masih kokoh berdiri. Itu terjadi karena potongan biaya proyek terlalu besar untuk menutupi keuangan sebagai pengganti suap yang digunakannya ketika menyogok pemilih saat Pilkada.
“Hak publik untuk mendapatkaan bantuan sosial seperti kesehatan, pendikan dan pemberdayaan ekonomi akan lebih banyak digeser pada proyek-proyek fisik karena di situlah sebagian politisi mendapatkan keuntungan besar,” pungkas akademisi Unsrat ini.
(***/JerryPalohoon)